.

hate me, im perfect

Kamis, 28 Februari 2013

Pro Kontra Penahanan Terhadap Anak


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Kehidupan masyarakat saat ini bisa dibilang dalam kehidupan yang labil akan persatuan dan kesatuan. Hampir setiap hari berita-berita dimedia masa menjadikan topik konflik sebagai Head Line pagi mereka. Pengaruh yang Globalisasi dan modernisasi yang kuat merasuk kedalam kehidupan anak muda menjadikan arah pergaulan anak muda saat ini bisa dibilang tidak terarah. Dikota-kota besar kita bisa temui bagaimana bebasnya kehidupan seorang anak SMP keluar masuk kedalam Club Malam, begitu pula dengan aksi tawuran yang kini tidak saja terjadi di kota besar namun sudah meluas keseluruh daerah, dan juga tentu “kenakalan remaja diera informatika” yang semakin meresahkan. Bila tidak diberikan tindakan yang tegas tentu ini akan menjadi Bom waktu bagi masa depan bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, karena nasib bangsa Indonesia kedepan berada ditangan mereka semua. Apa jadinya jika generasi penerus bangsa ini banyak yang terlibat aksi kejahatan seperti tawuran, pencurian, pembunuhan, dan tindak pidana lainnya?. Penegakan hukum haruslah dilakukan agar dapat tidaknya mengurangi dan memberantas aksi tindak pidana yang sering dilakukan oleh anak-anak.
Dilema pun hadir ketika aparat bingung untuk harus menindak para anak-anak yang melakukan tindak Pidana. Disatu sisi aparat harus melakukan kewajibannya sebagai penegak hukum dan penjaga ketertiban masyarakat, disatu sisi mereka harus memperhatikan perturan mengenai Perlindungan anak yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sering dijumpai adanya penolakan keras terhadap penahanan anak yang datang dari aktivis perlindungan Hak Anak sehingga hal ini menyebabkan timbulnya dilema saat ini. Disatu sisi bangsa ini harus membersihkan generasinya dari pengaruh negatif akibat globalisasi dan modernisasi, disisi lain penegakan hukum dan perlindungan terhadap anak harus diteagkkan. Pro Kontra mengenai penahanan anak yang dilakukan oleh aparat ataupun Pengadilan kemudian muncul.
Penilaianpun kemudian muncul terhadap hal ini. Penahanan yang dilakukan kepada anak dinilai dapat menjadi pemberian efek jera bagi pelaku tindak kriminal khusunya anak/remaja yang nantinya juga mempengaruhi anak/remaja lainnya. Sebagai Sanksi Pidana yang tegas tentu hal ini mendapat penolakan dari aktivis perlindungan anak. Mereka menilai penahanan yang dilakukan kepada anak/remaja akan berpengaruh kepada masa depan si anak. Penahanan Cuma akan membuat anak menjadi lebih terpuruk. Masa depannya pun akan dipertaruhkan disaat dia telah memegang status sebagai anak yang pernah ditahan, sehingga akan sedikit peluangnya untuk memperoleh hak kehidupannya.
Pemerintahpun tidak diam melihat fenomena ini. Gaung pendidikan karakter yang kini telah masuk kedalam kurikulum pendidikan Republik Indonesia semakin gencar disosialisasikan. Pendidikan karakter bertujuan untuk mengembalikan jati diri/karakter kehidupan mayarakat yang telah tergerus oleh kuatnya arus globalisasi dan modernisasi yang kian hari semakin kuat pengaruhnya. Karakter masyarakat yang dulu terkenal keseluruh dunia segabai masyarakat yang santun dan berkepribadian yang luhur kini telah berubah menjadi masyarakat yang penuh dengan rasa curiga dan masyarakat yang jauh akan keharmonisan. Karena hal inilah melalui Kementerian Pendidikan Nasional pemerintah telah berupaya menangai fenomena ini agar nantinya tidak berdampak pada persatuan dan kesatuan bangsa. Sasaran utama dari pendidikan karakter ialah anak-anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa. Karena nasib bangsa negara ini berada ditangan mereka, maka pendidikan karakter lebih dimaksimalkan kepada anak-anak muda Indonesia.
            Apa yang menjadi perhatian kita saat ini adalah menginginkan adanya generasi yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Namun saat ini tentu cita-cita untuk membentuk generasi yang bermoral, beretika sesuai dengan nilai Pancasila mendapat hadangan yang sangat besar. Inilah tugas keti bersama agar apa yang kita dambakan bersama yakni menginginkan kehidupan bangsa yang akan datang menjadi lebih baik dari saat ini dengan membentuk generasi muda yang baik tapi tanpa mencederai Hak-haknya sebagai anak bisa terwujud.





1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, Dapat diambil  rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana Pro Kontra terhadap kasus penahanan terhadap anak dilihat dari aspek yuridis?
1.2.2 Apa dasar hukum dalam melakukan perlakuan dan pembinaan bagi anak di dalam sebuah kasus pidana?




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pro Kontra penahanan anak dilihat dari aspek yuridis
h  Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
            Kasus hukum yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku kejahatan memang membutuhkan penanganan khusus, mengingat sebagai subjek hukum, anak-anak belum terikat hak dan kewajiban yang sepenuhnya mengikat. Anak-anak dianggap belum mampu menyadari akibat dan konsekuensi dari perbuatannya yang melanggar hukum dan memungkinkan terjadinya kerugian, ketidak-seimbangan dan disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mereka masih dalam tahap bermain,berkembang dan pencarian jati diri. Jika mengacu pada kaca mata sosial tentu saja penangkapan terlebih lagi penahanan tersebut sangat jauh dari rasa keadilan. Begitu berat dan begitu banyak konsekuensi yang harus anak-anak itu terima akibat dari perbuatan yang mereka lakukan tanpa mereka menyadari nya. Namun demikian, hukum tetaplah hukum, semua orang memiliki hak yang sama dihadapan hukum dan hal tersebut harus kita terima sebagai bentuk perwujudan persamaan hak di muka hukum bagi setiap warga Negara Indonesia. (http://ferli1982.wordpress.com/2010/12/21/kasus-perjudian-anak/)
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dijelaskan yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Tidak adanya supremasi hukum yang sering dijatuhkan kepada seorang anak sangat bertolak belakang terhadap Undang-Undang ini.  Perlindungan terhadap anakpun kemudian digaungkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum terhadap anak. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Perlindungan Anak  mengatur mengenai asas dan tujuan penyelenggaraan perlindungan anak. Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :
a. non diskriminasi
b. kepentingan yang terbaik bagi anak
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan
d. penghargaan terhadap pendapat anak
Pasal 3 menyebutkan perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
            Bila mengambil kesimpulan lebih awal tentunya dapat kita simpulkan bahwa Undang-Undang ini tentunya sangat Kontra terhadap kasus penahanan anak. Hal ini melihat secara keyataan bahwa dilapangan para aparat pengegak hukum seperti Polisi, Jaksa dan Hakim masih terpaku pada tali kekang hukum. Maksudnya mereka hanya melihat dan memutuskan sebuah kasus hanya melihat dari isi dari hukum yang mengaturnya tidak memikirkan dan berdasarkan aspek sosial lainnya terlebih ini adalah berhadapan dengan anak.
Berbagai kasus telah membuktikan bahwa masih adanya hal seperti ini, diantaranya adalah kasus pencurian sandal oleh seorang anak di Palu pada November 2010 dimana kasusnya baru diputus pada Desember 2011. Kekecewaan terhadap kasus ini karena Hakim tidak mempertimbangkan proses dan prosedur perkara yang tidak melalui Pusat Pelayanan Anak di Kepolisian. Kasus lainnya yakni Penangkapan 10 anak di Bandara Soekarno Hatta Tanggerang pada jumat tanggal 29 Mei 2009. Tindak Pidana yang dilakukan oleh sepuluh orang anak itu adalah perjudian dengan cara menggunakan alat berupa uang logam Rp.500,- (lima ratus rupiah) yang dipegang oleh bandar kemudian di putar dan ditutup dengan tangan yang selanjutnya oleh para pemasangnya menebak gambar yang tertera di satu sisi uang logam tersebut dan bilamana tebakannya tepat maka akan mendapatkan bayaran dari bandar dan bilamana tidak tepat akan ditarik oleh bandar. Atas apa yang mereka lakukan,anak-anak tersebut diduga telah melakukan tindak pidana perjudian sebagaimana dimaksud dalam pasal 303 KUHP.
Dari dua contoh bentuk kasus diatas membuktikan bahwa perlindungan terhadap anak belumlah ditegakkan dalam menjalankan hukum. Hukum begitu pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 merupakan bentuk dari tanggung jawab pemerintah untuk melindungi anak di negeri ini. Undang-Undang ini dibentuk pada dasarnya karena ingin melindungi anak, walaupun nantinya terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anak haruslah sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang ini. Lebih memikirkan realita sosial yang terjadi dilapangan dan bukan mengacu pada batas sempit isi yuridis yang ada sehingga pemikiran untuk memutuskan sebuah perkara anak terutamanya akan terkekang. Hal inilah yang ingin dikurangi oleh adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002.
h   Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
    Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dimaksud dengan Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 butir 21). Pasal 21 butir 4 menyebutkan, Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459 Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41 Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). (Tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan di tempat tertentu yang sekaligus merupakan temapat perawatan).
Seperti yang kita ketahui Indonesia adalah Negara hukum yang bagaimana hal tersebut telah tertuang dalam Konstitusi dasar Negara ini yakni pada pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Supremasi hukum haruslah dilakukan dinegara ini. Hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum diciptakan untuk menjaga ketertiban masyarakat dan untuk melindungi masyarakat. Setiap manusia di Negara ini adalah subjek hukum sedangkan objeknya adalah perbuatan manusia itu sendiri. Bila terjadi hal-hal yang berada diluar aturan sehingga menimbulkan keresahan bagi masyarakat maka hukum harus ditegakkan untuk menjerat para pelaku dan memberikan sanksi sebagaimana sesuai dengan perbuatannya tersebut.
Dalam proses peradilan pidana serta dalam pelaksanaan pidana, Sistem Pemasyarakatan, khususnya Rumah Tahanan Negara, Balai Pemasyarakatan, dan Lembaga Pemasyarakatan memiliki tugas pokok untuk melakukan perawatan terhadap tahanan, pembimbingan terhadap klien, serta pembinaan terhadap warga binaan Pemasyarakatan. Oleh karenanya, Sistem Pemasyarakatan bukanlah bagian akhir dari Sistem Peradilan Pidana, namun telah berperan pada tahap pra adjudikasi, adjudikasi, dan post adjudikasi. Salah satu kategori khusus tahanan, klien, atau warga binaan Pemasyarakatan adalah anak, yaitu seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Selanjutnya akan disebut sebagai anak yang berhadapan dengan hukum untuk anak yang masih dalam proses peradilan pidana, dan anak Anak Didik Pemasyarakatan untuk anak yang diputus oleh lembaga pengadilan untuk menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan khusus anak. Anak yang berhadapan dengan hukum dan anak didik Pemasyarakatan berada dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi diri dan masa depannya oleh karena penahanan dan menempatkan anak ke dalam penjara bukanlah suatu hal yang berpihak pada kepentingan yang terbaik bagi anak.
Pada tahap pra adjudikasi, situasi yang dihadapi oleh anak yang berhadapan dengan hukum berkisar pada:
h  Minimnya upaya diversi bagi anak dalam tahapan awal proses peradilan pidana, yaitu saat penyidikan dan penahanan oleh Kepolisian.
h  Kepadatan hunian Rumah Tahanan yang menghambat proses perawatan dan pemenuhan hak bagi anak.
h  Percampuran antara tahanan anak dengan tahanan dewasa.
h  Adanya tahanan anak yang ditempatkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan selama proses peradilan.
h  Belum terpenuhinya dengan baik hak-hak dasar bagi anak, seperti kualitas makanan, pendidikan, standar kesehatan, sanitasi, rekreasi, dan lainnya.
h Minimnya fasilitas dan sarana prasarana yang menunjang perawatan anak selama proses penahanan.
h Kerentanan terhadap pelanggaran atas hak anak sebagai tahanan dan sekaligus haknya sebagai anak, termasuk kekerasan penghuni lain yang lebih dewasa atau yang dilakukan oleh petugas Rumah Tahanan.
Pada tahap  adjudikasi, anak yang berhadapan dengan hukum sering berhadapan dengan situasi seperti:
h  Anak dengan kasus ringan dan masa hukuman singkat banyak yang diproses hingga ke tingkat pengadilan.
h  Minimnya putusan non pemenjaraan bagi anak dalam tahapan pengadilan.
Pada tahap  post adjudikasi, beberapa situasi yang sering dihadapi oleh anak didik Pemasyarakatan adalah seperti:
h  Terjadinya percampuran antara anak didik dengan narapidana dewasa
h  Kepadatan hunian Lembaga Pemasyarakatan yang menghambat proses pembinaan dan reintegrasi bagi anak didik.
h  Belum terpenuhinya dengan baik hak-hak anak didik Pemasyarakatan seperti kualitas makanan, pendidikan, standar kesehatan, ibadah, rekreasi, kunjungan, dan lainnya.
h  Minimnya fasilitas dan sarana prasarana yang menunjang pembinaan bagi anak didik seperti fasilitas pendidikan, perpustakaan, fasilitas olah raga, fasilitas pelatihan keterampilan, sumber air serta fasilitas mandi dan cuci.
h  Kerentanan terhadap pelanggaran hak sebagai anak didik serta haknya sebagai anak, termasuk kekerasan oleh penghuni lain yang lebih dewasa serta petugas.
h  Kesulitan dalam memperoleh program asimilasi dan reintegrasi terkait dengan
h  syarat administratif tertentu, seperti belum berpihaknya proses kepada kepentingan yang terbaik bagi anak dalam bentuk percepatan, kemudahan, dan akuntabilitas.
h  Adanya pengabaian dari orang tua dan masyarakat pada umumnya.
Pada tahap-tahap peradilan tersebut belum ada pedoman yang secara khusus mengatur bagaimana memperlakukan anak yang berhadapan dengan hukum serta anak didik yang berlaku bagi petugas Sistem Pemasyarakatan. Dengan melihat kondisi objektif tersebut, Sistem Pemasyarakatan, sebagai bagian integral dari Sistem Peradilan Pidana, perlu menyusun pedoman bagi perlakuan khusus yang sesuai dengan kebutuhan anak serta berbeda dari pedoman yang diperuntukkan bagi tahanan dan narapidana dewasa.


2.2 Dasar Hukum dalam melakukan perlakuan dan pembinaan bagi anak di dalam lembaga pemasyarakatan
Terjadinya pro dan kontra mengenai penahanan anak di tengah masyarakat dengan berbagai alasan yang ada, mencoba untuk mencari jalan tengah atas hal tersebut berikut adalah dasar hukum dalam hal perlakuan dan pembinaan anak di dalam lembaga pemasyarakatan. Hal ini diambil bila melihat situasi perlunya aturan tegas dan juga sanksi agar generasi Indonesia bisa lepas dan selamat dari belenggu pengaruh negative yang bersampak pada kemunduran negara ini.
Munculnya instrumen hukum nasional dan internasional turut melatarbelakangi perlunya pedoman khusus perlakuan dan pembinaan bagi anak. Sejumlah instrumen nasional dan  internasional yang menjadi dasar hukum bagi pedoman khusus perlakuan terhadap anak dalam Sistem Pemasyarakatan adalah sebagai berikut.
1.      Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-bangsa.
h  Pengakuan tentang martabat dan hak yang sama dalam bidang hukum, kesejahteraan, kesehatan dasar dan pendidikan, serta kebebasan sipil.
2.      Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi dan Sosial.
h  Menegaskan hak dasar bagi anak adalah memperoleh kesehatan dasar dan pendidikan.
3.      Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
h  Menegaskan hak anak memperoleh perlindungan, pemisahan tersangka dan terpidana di bawah umur dari orang dewasa, prosedur yang mempertimbangan usia dan kemungkinan meningkatkan rehabilitasi.
h  Tujuan utama pemenjaraan harus mencakup pembinaan untuk reformasi dan rehabilitasi sosial.
4.      Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.
h  Menegaskan tidak seorangpun boleh menjadi sasaran penyiksaan, perlakuan, atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia
5.      Deklarasi Hak Anak 1959.
h  Hak-hak anak adalah hak memperoleh prioritas perlakuan, hak untuk tumbuh kembang, hak untuk memperoleh pendidikan dan perhatian khusus, hak pendidikan, serta hak untuk tidak dipisahkan dengan orang terdekat.
6.      Konvensi Hak Anak.
h  Prinsip dasar dalam Konvensi Hak Anak adalah; non diskriminasi, memberikan kepentingan yang terbaik bagi anak; pemberian hak hidup, hak kelangsungan hidup dan hak perkembangan; serta prinsip penghargaan terhadap partisipasi anak.
h  Konvensi juga menegaskan perlunya aturan mengenai perawatan, bimbingan dan pengawasan, penyuluhan dan lainnya terkait dengan anak
7.      Riyadh Guidelines (Pedoman PBB tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak).
h  Prinsip dasar perlakuan yang ditegaskan oleh pedoman ini adalah anak sebagai subjek dalam perlakuan yang harus mempunyai kemitraan aktif dengan masyarakat.
h  Institusionalisasi hendaknya menjadi upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesngkat-singkatnya dengan mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak
h  Personil penegakan hukum atau petugas lain yang relevan, dari kedua jenis kelamin, hendaknya dilatih untuk tanggap terhadap kebutuhan khusus anak
8.      Beijing Rules (Peraturan-Peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak).
h  Dalam pengusutan dan penuntutan ditegaskan beberapa di antaranya:
- Dalam hal penahanan, diutamakan untuk diganti dengan langkah alternatif seperti pengawasan ketat, perawatan intensif atau penempatan pada sebuah keluarga, tempat pendidikan atau rumah.
- Anak harus dipisahkan dengan tahanan orang dewasa dan menerima perawatan, perlindungan dan semua bantuan individual yang diperlukan (sosial, edukasional, keterampilan, psikologis, pengobatan/rehabilitasi, dan fisik) yang sesuai dengan usia, jenis kelamin, dan kepribadian.
h  Dalam pemutusan vonis dan disposisi, ditegaskan beberapa di antaranya:
- Adanya laporan pemeriksaan sosial (fakta yang relevan, kondisi keluarga, riwayat sekolah, dan sebagainya) kecuali untuk pelanggaran hukum ringan , yang harus dilakukan sebelum pengambilan keputusan.
- Pegawai yang menangani perkara anak membutuhkan pendidikan profesional, pelatihan di tempat kerja, kursus, dan cara pengajaran yang memadai untuk membentuk dan menjagakemampuan.
h  Dalam hal perlakuan non institusional, ditegaskan:
-Proses rehabilitasi dilakukan pada semua proses tahapan peradilan, seperti pendidikan, penginapan, latihan keterampilan, pekerjaan atau bantuan lain.
- Relawan, organisasi relawan, lembaga setempat, dan organisasi masyarakat (lainnya) dihimbau untuk memberikan sumbangan yang efektif bagi rehabilitasi anak.
h  Dalam hal perlakuan institusional, ditegaskan:
- Memberikan perawatan, perlindungan pendidikan, keterampilan khusus dan semua bantuan (sosial, pendidikan, keterampilan, psikologis, pengobatan fisik) agar anak dapat memainkan peran yang konstruktif dalam masyarakat.
- Anak ditempatkan terpisah dengan dewasa.
- Akses bagi orang tua dan wali anak.
- Pembebasan bersyarat diberikan sedini mungkin, diawasi oleh pihak berwenang dan menerima dukungan dari masyarakat (reintegrasi sosial).
9.        Havana Rules (Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang Dicabut Kebebasannya).
h  Menegaskan kembali bahwa penempatan anak dalam institusi hendaknya selalu menjadi upaya terakhir dan untuk waktu yang sesingkat-singkatnya Anak yang memiliki kerentanan tertinggi ketika dicabut kebebasannya memerlukan perhatian dan perlindungan khusus sehingga hak dan kesejahteraan anak dijamin selama dan setelah masa penahanan.
h  Menegaskan hak-hak anak yang perlu dilindungi dalam proses penangkapan atau menunggu persidangan, seperti hak untuk tetap diberi kesempatan untuk meneruskan pendidikan dan pelatihan selama masa penahanan.
h  Fasilitas penahanan untuk anak sebaiknya bersifat terbuka, dengan upaya keamanan yang minimal atau tidak ada sama sekali. 
h  Menegaskan hak-hak yang haru tetap dilindungi ketika anak berada di dalam lembaga pemasyarakatan, seperti perawatan kesehatan, pendidikan, pelatihan keterampilan, rekreasi, beribadah, memiliki barang-barang pribadi, tetap berhubungan dengan masyarakat luas, mendapatkan kunjungan pribadi.
10.   Tokyo Rules (Peraturan PBB untuk Upaya-Upaya Non Penahanan).
h  Merupakan instrumen hukum internasional yang bertujuan untuk meningkatkan upaya non-custodial (non-penahanan), serta perlindungan minimum bagi orang yang tidak memiliki pilihan lain selain dipenjarakan.
h  Pada tahap pre adjudikasi, ditekankan bahwa kepolisian, kejaksaan dan basan-badan lainnya yang terkait dengan kasus-kasus kejahatan hendaknya diberdayakan untuk membebaskan pelaku pelanggaran hukum jika dianggap tidak perlu meneruskan kasusnya demi perlindungan masyarakat dan pencegahan kejahatan. Penahanan haruslah digunakan sebagai langkah terakhir dalam proses peradilan Pada tahap adjudikasi, laporan penyelidikan sosial yang memuat informasi sosial pelanggar hukum yang berkaitan dengan jenis kejahatannya, harus dipertimbangkan.
h  Pada tahap post adjudikasi, penghindaran terhadap institusionalisasi masih (dapat) diupayakan dengan adanya sejumlah alternatif yang mendukung reintegrasi pelaku pelanggar hukum ke dalam masyarakat.
h  Sejumlah alternatif tersebut diantaranya; half way house, pembebasan untuk pekerjaan dan pendidikan, berbagai pembebasan bersyarat, remisi dan pengampunan.
h  Instrumen ini juga menegaskan setelah pelanggar hukum keluar dari lembaga, perlu dilakukan supervisi yang bertujuan untuk mengurangi residivisme dengan cara membantu proses reintegrasi. Penanganan supervisi ini dilakukan oleh para profesional yang mendapatkan pelatihan dan pengalaman yang sesuai.

11.         Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana.
h  Standar ini menekankan bahwa semua anak yang ditahan atau dipenjara berhak atas semua jaminan perlakuan sebagaimana yang ditetapkan.
h  Khusus perlakuan terhadap anak , standar ini menegaskan di antaranya pemisahan tahanan (jenis kelamin, usia dan jenis pelanggaran), perlakuan yang tidak diskriminatif, tidak diperbolehkan adanya hukuman badan, hukuman dengan menempatkan dalam sel gelap dan semua hukuman kejam tidak manusiawi atau merendahkan martabat; hak kerahasiaan atas keluhan/pengaduan yang diberikan; hak untuk tetap melakukan komunikasi dengan keluarga dan teman; dan adanya personil lembaga yang memiliki standar pendidikan yang memadai.
12.    Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
h  Dalam instrumen nasional ini ditegaskan hak dasar anak meliputi:
q  Hak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
q  Hak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.
q  Hak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara bagi anak yang menderita cacat.
q  Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi.
q  Hak untuk mengetahui, dibesarkan, diasuh oleh orang tua.
q  Hak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali.
q  Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk.
q  kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual.
q  Hak untuk tidak dipisahkan dari orang tua.
q  Hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.
q  Hak untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi.
q  Hak untuk beristirahat, bergaul, bermain, berekreasi, dan berkreasi.
q  Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak.
q  Hak untuk tidak dilibatkan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
q  Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan diri.
q  Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
h  Hak anak yang berhadapan dengan hukum meliputi:
q  Hak untuk dilindungi dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
q  Hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup.
q  Hak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
q  Hak untuk dipisahkan dari orang dewasa.
q  Hak untuk tetap diperhatikan kebutuhan pengembanganpribadinya.
q  Hak untuk memperoleh bantuan hukum.
q  Hak untuk membela diri.
q  Hak untuk memperoleh keadilan di hadapan pengadilan.
13.         Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
h  Prinsip dasar dari instrumen ini adalah:
q  Adanya kebutuhan-kebutuhan dasar anak yang perlu dipenuhi demi kesejahteraannya.
q  Kebutuhan dasar tersebut harus dipenuhi karena menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
14.         Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
h  Instrumen ini menegaskan, bahwa dalam proses penyidikan, penyidik wajib memeriksa tersangka (anak) dalam suasana kekeluargaan dan meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan.
h  Pembimbing Kemasyarakatan atau petugas Balai Pemasyarakatan bertugas untuk membantu memperlancar tugas sistem peradilan pidana lainnya dalam perkara anak dengan cara membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan (Litmas) serta membantu, mengawasi, membimbing anak yang sudah diputus oleh pengadilan.
h  Penahanan terhadap anak berdasarkan prinsip pemisahan tempat dengan orang dewasa. 
h  Dalam proses penahanan, anak tetap dijamin kelangsungan pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosialnya sehingga kelangsungan perkembangannya tidak akan terganggu karena proses hukum.
h  Sebelum sidang anak dibuka, petugas kemasyarakatan mempunyai kewajiban untuk membacakan hasil Litmas sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara.

      

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
            Penahanan terhadap anak sampai saat ini masih menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Alasan untuk mengatakan bahwa penahanan anak itu tidak benar adalah anak itu tidak memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti orang dewasa jadi tidak harus hukumannya setara dengan orang dewasa. Alasan lainnya adalah aktivis perlindungan anak seperti KPAI menyebutkan dengan penahanan anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum akan membuat suram masa depan anak itu sendiri. Seperti kita ketahui bersama anak memiliki jalan yang masih panjang untuk belajar kedepannya sehingga menjadi orang yang berguna, namun jika dalam dirinya sudah melekat sandangan orang yang pernah ditahan maka hal itu akan memupus masa depan anak tersebut. Mereka akan kehilangan masa-masa dimana mereka seharusnya mendapatkannya.
Saat ini Rumah Tahanan telah berubah menjadi LP tidak lagi menjadi tempat untuk kurungan narapidana saja namun jauh dari itu LP (Lembaga pemasyarakatan) telah berubah tugas dan fungsinya yakni untuk mendidik dan memberikan pembekalan keterampilan kepada narapidana agar nantinya dapat kembali kemasyarakat dengan bekal keterampilan selama berada di LP dan dapat diterima kembali di masyarakat. Walaupun hal tersebut telah dilakukan, akan sulit merubah stigma masyarakat mengenai orang-orang yang pernah berada di dalam penjara. Karena itulah perlindungan terhadap anak haruslah dilakukan.
            Di lain sisi mereka yang mengatakan untuk pro terhadap penahanan anak berdasarkan pada cita-cita bangsa ini untuk maju dengan membentuk generasi yang disiplin dan sadar hukum. Jika seorang anak telah melakukan pelanggaran sehingga menimbulkan keresahan ditengah masyarakat maka sepatutnyalah dia (si anak) mendapatkan ganjaran sesuai dengan perbuatannya tersebut. Mereka yang pro terhadap penahanan anak juga berdasarkan pada pemberian efek jera seperti ini akan lebih efektif untuk mempengaruhi anak-anak lainnya untuk tidak meniru apa yang telah teman mereka lakukan. Dengan dasar tersebutlah maka penahanan kepada anak haruslah dilakukan selama perbuatannya tersebut terbukti melanggar aturan perundang-undangan.

            Untuk mengatasi hal tersebut maka penjatuhan hukuman kepada anak tetap akan diberlakukan mengingat negara ini adalah negara hukum yang menjungjung tinggi hukum. Namun untuk implementasinya jelas berbeda dengan apa yang terdapat pada Lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa. Untuk lembga pemasyarakatan khusus anak harus memperhatikan dasar hukum yang berada dibawah ini:
1.      Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-bangsa.
2.      Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi dan Sosial.
3.      Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
4.      Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.
5.      Deklarasi Hak Anak 1959.
6.      Konvensi Hak Anak.
7.      Riyadh Guidelines (Pedoman PBB tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak).
8.      Beijing Rules (Peraturan-Peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak).
9.      Havana Rules (Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang Dicabut Kebebasannya).
10.    Tokyo Rules (Peraturan PBB untuk Upaya-Upaya Non Penahanan).
11.    Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana.
12.    Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
13.    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
14.    Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.


DAFTAR PUSTAKA
DPR RI, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jatim: Usaha nasional-Surabaya, 1981.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar