BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kehidupan
masyarakat saat ini bisa dibilang dalam kehidupan yang labil akan persatuan dan
kesatuan. Hampir setiap hari berita-berita dimedia masa menjadikan topik
konflik sebagai Head Line pagi mereka.
Pengaruh yang Globalisasi dan modernisasi yang kuat merasuk kedalam kehidupan
anak muda menjadikan arah pergaulan anak muda saat ini bisa dibilang tidak
terarah. Dikota-kota besar kita bisa temui bagaimana bebasnya kehidupan seorang
anak SMP keluar masuk kedalam Club
Malam, begitu pula dengan aksi tawuran yang kini tidak saja terjadi di kota
besar namun sudah meluas keseluruh daerah, dan juga tentu “kenakalan remaja
diera informatika” yang semakin meresahkan. Bila tidak diberikan tindakan yang
tegas tentu ini akan menjadi Bom waktu bagi masa depan bangsa Indonesia. Bagaimana
tidak, karena nasib bangsa Indonesia kedepan berada ditangan mereka semua. Apa
jadinya jika generasi penerus bangsa ini banyak yang terlibat aksi kejahatan
seperti tawuran, pencurian, pembunuhan, dan tindak pidana lainnya?. Penegakan
hukum haruslah dilakukan agar dapat tidaknya mengurangi dan memberantas aksi
tindak pidana yang sering dilakukan oleh anak-anak.
Dilema pun hadir ketika aparat bingung
untuk harus menindak para anak-anak yang melakukan tindak Pidana. Disatu sisi
aparat harus melakukan kewajibannya sebagai penegak hukum dan penjaga
ketertiban masyarakat, disatu sisi mereka harus memperhatikan perturan mengenai
Perlindungan anak yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Sering dijumpai adanya penolakan keras terhadap penahanan anak yang
datang dari aktivis perlindungan Hak Anak sehingga hal ini menyebabkan
timbulnya dilema saat ini. Disatu sisi bangsa ini harus membersihkan
generasinya dari pengaruh negatif akibat globalisasi dan modernisasi, disisi
lain penegakan hukum dan perlindungan terhadap anak harus diteagkkan. Pro
Kontra mengenai penahanan anak yang dilakukan oleh aparat ataupun Pengadilan
kemudian muncul.
Penilaianpun kemudian muncul terhadap
hal ini. Penahanan yang dilakukan kepada anak dinilai dapat menjadi pemberian
efek jera bagi pelaku tindak kriminal khusunya anak/remaja yang nantinya juga
mempengaruhi anak/remaja lainnya. Sebagai Sanksi Pidana yang tegas tentu hal
ini mendapat penolakan dari aktivis perlindungan anak. Mereka menilai penahanan
yang dilakukan kepada anak/remaja akan berpengaruh kepada masa depan si anak.
Penahanan Cuma akan membuat anak menjadi lebih terpuruk. Masa depannya pun akan
dipertaruhkan disaat dia telah memegang status sebagai anak yang pernah
ditahan, sehingga akan sedikit peluangnya untuk memperoleh hak kehidupannya.
Pemerintahpun tidak diam melihat
fenomena ini. Gaung pendidikan karakter yang kini telah masuk kedalam kurikulum
pendidikan Republik Indonesia semakin gencar disosialisasikan. Pendidikan
karakter bertujuan untuk mengembalikan jati diri/karakter kehidupan mayarakat
yang telah tergerus oleh kuatnya arus globalisasi dan modernisasi yang kian
hari semakin kuat pengaruhnya. Karakter masyarakat yang dulu terkenal keseluruh
dunia segabai masyarakat yang santun dan berkepribadian yang luhur kini telah
berubah menjadi masyarakat yang penuh dengan rasa curiga dan masyarakat yang
jauh akan keharmonisan. Karena hal inilah melalui Kementerian Pendidikan
Nasional pemerintah telah berupaya menangai fenomena ini agar nantinya tidak
berdampak pada persatuan dan kesatuan bangsa. Sasaran utama dari pendidikan
karakter ialah anak-anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa. Karena
nasib bangsa negara ini berada ditangan mereka, maka pendidikan karakter lebih
dimaksimalkan kepada anak-anak muda Indonesia.
Apa
yang menjadi perhatian kita saat ini adalah menginginkan adanya generasi yang
berkarakter sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Namun saat ini tentu cita-cita
untuk membentuk generasi yang bermoral, beretika sesuai dengan nilai Pancasila
mendapat hadangan yang sangat besar. Inilah tugas keti bersama agar apa yang
kita dambakan bersama yakni menginginkan kehidupan bangsa yang akan datang
menjadi lebih baik dari saat ini dengan membentuk generasi muda yang baik tapi
tanpa mencederai Hak-haknya sebagai anak bisa terwujud.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas, Dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana Pro
Kontra terhadap kasus penahanan terhadap anak dilihat dari aspek yuridis?
1.2.2 Apa dasar hukum
dalam melakukan perlakuan dan pembinaan bagi anak di dalam sebuah kasus pidana?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pro Kontra penahanan anak dilihat dari aspek
yuridis
h Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Kasus hukum yang
melibatkan anak-anak sebagai pelaku kejahatan memang membutuhkan penanganan
khusus, mengingat sebagai subjek hukum, anak-anak belum terikat hak dan
kewajiban yang sepenuhnya mengikat. Anak-anak dianggap belum mampu menyadari
akibat dan konsekuensi dari perbuatannya yang melanggar hukum dan memungkinkan
terjadinya kerugian, ketidak-seimbangan dan disharmoni dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mereka masih dalam tahap bermain,berkembang
dan pencarian jati diri. Jika mengacu pada kaca mata sosial tentu saja
penangkapan terlebih lagi penahanan tersebut sangat jauh dari rasa keadilan. Begitu
berat dan begitu banyak konsekuensi yang harus anak-anak itu terima akibat dari
perbuatan yang mereka lakukan tanpa mereka menyadari nya. Namun demikian, hukum
tetaplah hukum, semua orang memiliki hak yang sama dihadapan hukum dan hal
tersebut harus kita terima sebagai bentuk perwujudan persamaan hak di muka
hukum bagi setiap warga Negara Indonesia. (http://ferli1982.wordpress.com/2010/12/21/kasus-perjudian-anak/)
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak
Nomor 23 Tahun 2002 dijelaskan yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Tidak adanya supremasi hukum yang sering dijatuhkan kepada seorang
anak sangat bertolak belakang terhadap Undang-Undang ini. Perlindungan terhadap anakpun kemudian
digaungkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum terhadap anak.
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang
Perlindungan Anak mengatur mengenai asas
dan tujuan penyelenggaraan perlindungan anak. Penyelenggaraan perlindungan anak
berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi
:
a. non diskriminasi
b. kepentingan yang terbaik bagi anak
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup,
dan perkembangan
d. penghargaan terhadap pendapat anak
Pasal 3 menyebutkan perlindungan anak bertujuan
untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Bila
mengambil kesimpulan lebih awal tentunya dapat kita simpulkan bahwa
Undang-Undang ini tentunya sangat Kontra terhadap kasus penahanan anak. Hal ini
melihat secara keyataan bahwa dilapangan para aparat pengegak hukum seperti
Polisi, Jaksa dan Hakim masih terpaku pada tali kekang hukum. Maksudnya mereka
hanya melihat dan memutuskan sebuah kasus hanya melihat dari isi dari hukum
yang mengaturnya tidak memikirkan dan berdasarkan aspek sosial lainnya terlebih
ini adalah berhadapan dengan anak.
Berbagai kasus telah membuktikan bahwa
masih adanya hal seperti ini, diantaranya adalah kasus pencurian sandal oleh
seorang anak di Palu pada November 2010 dimana kasusnya baru diputus pada
Desember 2011. Kekecewaan terhadap kasus ini karena Hakim tidak mempertimbangkan proses dan prosedur
perkara yang tidak melalui Pusat Pelayanan Anak di Kepolisian. Kasus lainnya
yakni Penangkapan 10 anak di Bandara Soekarno Hatta Tanggerang pada jumat tanggal 29 Mei 2009.
Tindak Pidana yang dilakukan oleh sepuluh orang anak itu adalah perjudian
dengan cara menggunakan alat berupa uang logam Rp.500,- (lima ratus rupiah)
yang dipegang oleh bandar kemudian di putar dan ditutup dengan tangan yang
selanjutnya oleh para pemasangnya menebak gambar yang tertera di satu sisi uang
logam tersebut dan bilamana tebakannya tepat maka akan mendapatkan bayaran dari
bandar dan bilamana tidak tepat akan ditarik oleh bandar. Atas apa yang mereka
lakukan,anak-anak tersebut diduga telah melakukan tindak pidana perjudian
sebagaimana dimaksud dalam pasal 303 KUHP.
Dari dua contoh bentuk
kasus diatas membuktikan bahwa perlindungan terhadap anak belumlah ditegakkan
dalam menjalankan hukum. Hukum begitu pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
merupakan bentuk dari tanggung jawab pemerintah untuk melindungi anak di negeri
ini. Undang-Undang ini dibentuk pada dasarnya karena ingin melindungi anak,
walaupun nantinya terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anak haruslah
sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang ini. Lebih memikirkan realita
sosial yang terjadi dilapangan dan bukan mengacu pada batas sempit isi yuridis
yang ada sehingga pemikiran untuk memutuskan sebuah perkara anak terutamanya
akan terkekang. Hal inilah yang ingin dikurangi oleh adanya Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002.
h Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang dimaksud dengan Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa
di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1
butir 21). Pasal 21 butir 4 menyebutkan, Penahanan tersebut hanya dapat
dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan
atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. tindak pidana itu
diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3),
Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal
372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459 Pasal
480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26
Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir
diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4
Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran
Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41 Pasal 42, Pasal 43,
Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
(Tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan di tempat
tertentu yang sekaligus merupakan temapat perawatan).
Seperti yang kita ketahui
Indonesia adalah Negara hukum yang bagaimana hal tersebut telah tertuang dalam
Konstitusi dasar Negara ini yakni pada pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”. Supremasi hukum haruslah dilakukan dinegara
ini. Hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum diciptakan untuk
menjaga ketertiban masyarakat dan untuk melindungi masyarakat. Setiap manusia
di Negara ini adalah subjek hukum sedangkan objeknya adalah perbuatan manusia
itu sendiri. Bila terjadi hal-hal yang berada diluar aturan sehingga
menimbulkan keresahan bagi masyarakat maka hukum harus ditegakkan untuk
menjerat para pelaku dan memberikan sanksi sebagaimana sesuai dengan
perbuatannya tersebut.
Dalam proses peradilan
pidana serta dalam pelaksanaan pidana, Sistem Pemasyarakatan, khususnya Rumah
Tahanan Negara, Balai Pemasyarakatan, dan Lembaga Pemasyarakatan memiliki tugas
pokok untuk melakukan perawatan terhadap tahanan, pembimbingan terhadap klien,
serta pembinaan terhadap warga binaan Pemasyarakatan. Oleh karenanya, Sistem
Pemasyarakatan bukanlah bagian akhir dari Sistem Peradilan Pidana, namun telah
berperan pada tahap pra adjudikasi, adjudikasi, dan post adjudikasi. Salah satu
kategori khusus tahanan, klien, atau warga binaan Pemasyarakatan adalah anak,
yaitu seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Selanjutnya akan disebut
sebagai anak yang berhadapan dengan hukum untuk anak yang masih dalam proses
peradilan pidana, dan anak Anak Didik Pemasyarakatan untuk anak yang diputus
oleh lembaga pengadilan untuk menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan khusus
anak. Anak yang berhadapan dengan hukum dan anak didik Pemasyarakatan berada
dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi diri dan masa depannya oleh
karena penahanan dan menempatkan anak ke dalam penjara bukanlah suatu hal yang berpihak
pada kepentingan yang terbaik bagi anak.
Pada tahap pra adjudikasi,
situasi yang dihadapi oleh anak yang berhadapan dengan hukum berkisar pada:
h Minimnya upaya diversi
bagi anak dalam tahapan awal proses peradilan pidana, yaitu saat penyidikan dan
penahanan oleh Kepolisian.
h Kepadatan hunian Rumah
Tahanan yang menghambat proses perawatan dan pemenuhan hak bagi anak.
h Percampuran antara tahanan
anak dengan tahanan dewasa.
h Adanya tahanan anak yang
ditempatkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan selama proses peradilan.
h Belum terpenuhinya dengan
baik hak-hak dasar bagi anak, seperti kualitas makanan, pendidikan, standar
kesehatan, sanitasi, rekreasi, dan lainnya.
h Minimnya fasilitas dan
sarana prasarana yang menunjang perawatan anak selama proses penahanan.
h Kerentanan terhadap
pelanggaran atas hak anak sebagai tahanan dan sekaligus haknya sebagai anak,
termasuk kekerasan penghuni lain yang lebih dewasa atau yang dilakukan oleh
petugas Rumah Tahanan.
Pada tahap adjudikasi, anak yang berhadapan dengan hukum
sering berhadapan dengan situasi seperti:
h Anak dengan kasus ringan
dan masa hukuman singkat banyak yang diproses hingga ke tingkat pengadilan.
h Minimnya putusan non
pemenjaraan bagi anak dalam tahapan pengadilan.
Pada tahap post adjudikasi, beberapa situasi yang sering
dihadapi oleh anak didik Pemasyarakatan adalah seperti:
h Terjadinya percampuran
antara anak didik dengan narapidana dewasa
h Kepadatan hunian Lembaga
Pemasyarakatan yang menghambat proses pembinaan dan reintegrasi bagi anak
didik.
h Belum terpenuhinya dengan
baik hak-hak anak didik Pemasyarakatan seperti kualitas makanan, pendidikan,
standar kesehatan, ibadah, rekreasi, kunjungan, dan lainnya.
h Minimnya fasilitas dan
sarana prasarana yang menunjang pembinaan bagi anak didik seperti fasilitas
pendidikan, perpustakaan, fasilitas olah raga, fasilitas pelatihan
keterampilan, sumber air serta fasilitas mandi dan cuci.
h Kerentanan terhadap
pelanggaran hak sebagai anak didik serta haknya sebagai anak, termasuk
kekerasan oleh penghuni lain yang lebih dewasa serta petugas.
h Kesulitan dalam memperoleh
program asimilasi dan reintegrasi terkait dengan
h syarat administratif
tertentu, seperti belum berpihaknya proses kepada kepentingan yang terbaik bagi
anak dalam bentuk percepatan, kemudahan, dan akuntabilitas.
h Adanya pengabaian dari
orang tua dan masyarakat pada umumnya.
Pada tahap-tahap peradilan tersebut belum
ada pedoman yang secara khusus mengatur bagaimana memperlakukan anak yang
berhadapan dengan hukum serta anak didik yang berlaku bagi petugas Sistem
Pemasyarakatan. Dengan melihat kondisi objektif tersebut, Sistem
Pemasyarakatan, sebagai bagian integral dari Sistem Peradilan Pidana, perlu
menyusun pedoman bagi perlakuan khusus yang sesuai dengan kebutuhan anak serta
berbeda dari pedoman yang diperuntukkan bagi tahanan dan narapidana dewasa.
2.2 Dasar Hukum dalam melakukan
perlakuan dan pembinaan bagi anak di dalam lembaga pemasyarakatan
Terjadinya pro dan kontra mengenai
penahanan anak di tengah masyarakat dengan berbagai alasan yang ada, mencoba
untuk mencari jalan tengah atas hal tersebut berikut adalah dasar hukum dalam
hal perlakuan dan pembinaan anak di dalam lembaga pemasyarakatan. Hal ini
diambil bila melihat situasi perlunya aturan tegas dan juga sanksi agar
generasi Indonesia bisa lepas dan selamat dari belenggu pengaruh negative yang
bersampak pada kemunduran negara ini.
Munculnya instrumen hukum
nasional dan internasional turut melatarbelakangi perlunya pedoman khusus
perlakuan dan pembinaan bagi anak. Sejumlah instrumen nasional dan internasional yang menjadi dasar hukum bagi
pedoman khusus perlakuan terhadap anak dalam Sistem Pemasyarakatan adalah
sebagai berikut.
1. Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-bangsa.
h Pengakuan tentang martabat
dan hak yang sama dalam bidang hukum, kesejahteraan, kesehatan dasar dan pendidikan,
serta kebebasan sipil.
2. Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Ekonomi dan Sosial.
h Menegaskan hak dasar bagi
anak adalah memperoleh kesehatan dasar dan pendidikan.
3. Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik.
h Menegaskan hak anak
memperoleh perlindungan, pemisahan tersangka dan terpidana di bawah umur dari
orang dewasa, prosedur yang mempertimbangan usia dan kemungkinan meningkatkan rehabilitasi.
h Tujuan utama pemenjaraan
harus mencakup pembinaan untuk reformasi dan rehabilitasi sosial.
4. Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat Manusia.
h Menegaskan tidak
seorangpun boleh menjadi sasaran penyiksaan, perlakuan, atau penghukuman yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia
5. Deklarasi Hak Anak 1959.
h Hak-hak anak adalah hak
memperoleh prioritas perlakuan, hak untuk tumbuh kembang, hak untuk memperoleh
pendidikan dan perhatian khusus, hak pendidikan, serta hak untuk tidak
dipisahkan dengan orang terdekat.
6. Konvensi Hak Anak.
h Prinsip dasar dalam
Konvensi Hak Anak adalah; non diskriminasi, memberikan kepentingan yang terbaik
bagi anak; pemberian hak hidup, hak kelangsungan hidup dan hak perkembangan;
serta prinsip penghargaan terhadap partisipasi anak.
h Konvensi juga menegaskan
perlunya aturan mengenai perawatan, bimbingan dan pengawasan, penyuluhan dan
lainnya terkait dengan anak
7. Riyadh Guidelines (Pedoman
PBB tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak).
h Prinsip dasar perlakuan
yang ditegaskan oleh pedoman ini adalah anak sebagai subjek dalam perlakuan
yang harus mempunyai kemitraan aktif dengan masyarakat.
h Institusionalisasi
hendaknya menjadi upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang
sesngkat-singkatnya dengan mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak
h Personil penegakan hukum
atau petugas lain yang relevan, dari kedua jenis kelamin, hendaknya dilatih
untuk tanggap terhadap kebutuhan khusus anak
8. Beijing Rules
(Peraturan-Peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Administrasi Peradilan Bagi
Anak).
h Dalam pengusutan dan
penuntutan ditegaskan beberapa di antaranya:
-
Dalam hal penahanan, diutamakan untuk diganti dengan langkah alternatif seperti
pengawasan ketat, perawatan intensif atau penempatan pada sebuah keluarga,
tempat pendidikan atau rumah.
-
Anak harus dipisahkan dengan tahanan orang dewasa dan menerima perawatan,
perlindungan dan semua bantuan individual yang diperlukan (sosial, edukasional,
keterampilan, psikologis, pengobatan/rehabilitasi, dan fisik) yang sesuai
dengan usia, jenis kelamin, dan kepribadian.
h Dalam pemutusan vonis dan
disposisi, ditegaskan beberapa di antaranya:
-
Adanya laporan pemeriksaan sosial (fakta yang relevan, kondisi keluarga,
riwayat sekolah, dan sebagainya) kecuali untuk pelanggaran hukum ringan , yang
harus dilakukan sebelum pengambilan keputusan.
-
Pegawai yang menangani perkara anak membutuhkan pendidikan profesional,
pelatihan di tempat kerja, kursus, dan cara pengajaran yang memadai untuk
membentuk dan menjagakemampuan.
h Dalam hal perlakuan non
institusional, ditegaskan:
-Proses
rehabilitasi dilakukan pada semua proses tahapan peradilan, seperti pendidikan,
penginapan, latihan keterampilan, pekerjaan atau bantuan lain.
-
Relawan, organisasi relawan, lembaga setempat, dan organisasi masyarakat
(lainnya) dihimbau untuk memberikan sumbangan yang efektif bagi rehabilitasi
anak.
h Dalam hal perlakuan
institusional, ditegaskan:
-
Memberikan perawatan, perlindungan pendidikan, keterampilan khusus dan semua
bantuan (sosial, pendidikan, keterampilan, psikologis, pengobatan fisik) agar
anak dapat memainkan peran yang konstruktif dalam masyarakat.
- Anak ditempatkan terpisah
dengan dewasa.
- Akses bagi orang tua dan
wali anak.
-
Pembebasan bersyarat diberikan sedini mungkin, diawasi oleh pihak berwenang dan
menerima dukungan dari masyarakat (reintegrasi sosial).
9.
Havana Rules (Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang Dicabut
Kebebasannya).
h Menegaskan kembali bahwa
penempatan anak dalam institusi hendaknya selalu menjadi upaya terakhir dan
untuk waktu yang sesingkat-singkatnya Anak yang memiliki kerentanan tertinggi
ketika dicabut kebebasannya memerlukan perhatian dan perlindungan khusus
sehingga hak dan kesejahteraan anak dijamin selama dan setelah masa penahanan.
h Menegaskan hak-hak anak
yang perlu dilindungi dalam proses penangkapan atau menunggu persidangan,
seperti hak untuk tetap diberi kesempatan untuk meneruskan pendidikan dan pelatihan
selama masa penahanan.
h Fasilitas penahanan untuk
anak sebaiknya bersifat terbuka, dengan upaya keamanan yang minimal atau tidak
ada sama sekali.
h Menegaskan hak-hak yang
haru tetap dilindungi ketika anak berada di dalam lembaga pemasyarakatan,
seperti perawatan kesehatan, pendidikan, pelatihan keterampilan, rekreasi,
beribadah, memiliki barang-barang pribadi, tetap berhubungan dengan masyarakat
luas, mendapatkan kunjungan pribadi.
10. Tokyo Rules (Peraturan PBB untuk Upaya-Upaya
Non Penahanan).
h Merupakan instrumen hukum
internasional yang bertujuan untuk meningkatkan upaya non-custodial
(non-penahanan), serta perlindungan minimum bagi orang yang tidak memiliki pilihan
lain selain dipenjarakan.
h Pada tahap pre adjudikasi,
ditekankan bahwa kepolisian, kejaksaan dan basan-badan lainnya yang terkait
dengan kasus-kasus kejahatan hendaknya diberdayakan untuk membebaskan pelaku
pelanggaran hukum jika dianggap tidak perlu meneruskan kasusnya demi
perlindungan masyarakat dan pencegahan kejahatan. Penahanan haruslah digunakan
sebagai langkah terakhir dalam proses peradilan Pada tahap adjudikasi, laporan
penyelidikan sosial yang memuat informasi sosial pelanggar hukum yang berkaitan
dengan jenis kejahatannya, harus dipertimbangkan.
h Pada tahap post
adjudikasi, penghindaran terhadap institusionalisasi masih (dapat) diupayakan
dengan adanya sejumlah alternatif yang mendukung reintegrasi pelaku pelanggar
hukum ke dalam masyarakat.
h Sejumlah alternatif
tersebut diantaranya; half way house, pembebasan untuk pekerjaan dan
pendidikan, berbagai pembebasan bersyarat, remisi dan pengampunan.
h Instrumen ini juga
menegaskan setelah pelanggar hukum keluar dari lembaga, perlu dilakukan
supervisi yang bertujuan untuk mengurangi residivisme dengan cara membantu
proses reintegrasi. Penanganan supervisi ini dilakukan oleh para profesional
yang mendapatkan pelatihan dan pengalaman yang sesuai.
11.
Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana.
h Standar ini menekankan
bahwa semua anak yang ditahan atau dipenjara berhak atas semua jaminan
perlakuan sebagaimana yang ditetapkan.
h Khusus perlakuan terhadap
anak , standar ini menegaskan di antaranya pemisahan tahanan (jenis kelamin,
usia dan jenis pelanggaran), perlakuan yang tidak diskriminatif, tidak
diperbolehkan adanya hukuman badan, hukuman dengan menempatkan dalam sel gelap
dan semua hukuman kejam tidak manusiawi atau merendahkan martabat; hak
kerahasiaan atas keluhan/pengaduan yang diberikan; hak untuk tetap melakukan
komunikasi dengan keluarga dan teman; dan adanya personil lembaga yang memiliki
standar pendidikan yang memadai.
12. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia.
h Dalam instrumen nasional
ini ditegaskan hak dasar anak meliputi:
q Hak untuk hidup,
mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
q Hak atas suatu nama dan
status kewarganegaraan.
q Hak memperoleh perawatan,
pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara bagi anak yang
menderita cacat.
q Hak untuk beribadah
menurut agamanya, berfikir dan berekspresi.
q Hak untuk mengetahui, dibesarkan,
diasuh oleh orang tua.
q Hak untuk mendapatkan
orang tua angkat atau wali.
q Hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum dari segala bentuk.
q kekerasan fisik atau
mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual.
q Hak untuk tidak dipisahkan
dari orang tua.
q Hak untuk memperoleh
pendidikan dan pengajaran.
q Hak untuk mencari, menerima,
dan memberikan informasi.
q Hak untuk beristirahat,
bergaul, bermain, berekreasi, dan berkreasi.
q Hak untuk memperoleh
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak.
q Hak untuk tidak dilibatkan
dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
q Hak untuk memperoleh
perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang
membahayakan diri.
q Hak untuk memperoleh
perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan
anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya.
h Hak anak yang berhadapan
dengan hukum meliputi:
q Hak untuk dilindungi dari
sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
q Hak untuk tidak dijatuhi
hukuman mati atau hukuman seumur hidup.
q Hak untuk tidak dirampas
kebebasannya secara melawan hukum.
q Hak untuk dipisahkan dari
orang dewasa.
q Hak untuk tetap
diperhatikan kebutuhan pengembanganpribadinya.
q Hak untuk memperoleh
bantuan hukum.
q Hak untuk membela diri.
q Hak untuk memperoleh
keadilan di hadapan pengadilan.
13.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
h Prinsip dasar dari
instrumen ini adalah:
q Adanya kebutuhan-kebutuhan
dasar anak yang perlu dipenuhi demi kesejahteraannya.
q Kebutuhan dasar tersebut
harus dipenuhi karena menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar
baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
14.
Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
h Instrumen ini menegaskan,
bahwa dalam proses penyidikan, penyidik wajib memeriksa tersangka (anak) dalam
suasana kekeluargaan dan meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing
kemasyarakatan.
h Pembimbing Kemasyarakatan atau
petugas Balai Pemasyarakatan bertugas untuk membantu memperlancar tugas sistem
peradilan pidana lainnya dalam perkara anak dengan cara membuat laporan hasil
penelitian kemasyarakatan (Litmas) serta membantu, mengawasi, membimbing anak
yang sudah diputus oleh pengadilan.
h Penahanan terhadap anak
berdasarkan prinsip pemisahan tempat dengan orang dewasa.
h Dalam proses penahanan,
anak tetap dijamin kelangsungan pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan
sosialnya sehingga kelangsungan perkembangannya tidak akan terganggu karena
proses hukum.
h Sebelum sidang anak
dibuka, petugas kemasyarakatan mempunyai kewajiban untuk membacakan hasil
Litmas sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Penahanan
terhadap anak sampai saat ini masih menuai pro dan kontra dikalangan
masyarakat. Alasan untuk mengatakan bahwa penahanan anak itu tidak benar adalah
anak itu tidak memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti orang dewasa jadi
tidak harus hukumannya setara dengan orang dewasa. Alasan lainnya adalah aktivis
perlindungan anak seperti KPAI menyebutkan dengan penahanan anak yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum akan membuat suram masa depan anak itu sendiri.
Seperti kita ketahui bersama anak memiliki jalan yang masih panjang untuk
belajar kedepannya sehingga menjadi orang yang berguna, namun jika dalam
dirinya sudah melekat sandangan orang yang pernah ditahan maka hal itu akan
memupus masa depan anak tersebut. Mereka akan kehilangan masa-masa dimana
mereka seharusnya mendapatkannya.
Saat ini Rumah Tahanan
telah berubah menjadi LP tidak lagi menjadi tempat untuk kurungan narapidana
saja namun jauh dari itu LP (Lembaga pemasyarakatan) telah berubah tugas dan
fungsinya yakni untuk mendidik dan memberikan pembekalan keterampilan kepada
narapidana agar nantinya dapat kembali kemasyarakat dengan bekal keterampilan
selama berada di LP dan dapat diterima kembali di masyarakat. Walaupun hal
tersebut telah dilakukan, akan sulit merubah stigma masyarakat mengenai
orang-orang yang pernah berada di dalam penjara. Karena itulah perlindungan
terhadap anak haruslah dilakukan.
Di
lain sisi mereka yang mengatakan untuk pro terhadap penahanan anak berdasarkan
pada cita-cita bangsa ini untuk maju dengan membentuk generasi yang disiplin
dan sadar hukum. Jika seorang anak telah melakukan pelanggaran sehingga
menimbulkan keresahan ditengah masyarakat maka sepatutnyalah dia (si anak)
mendapatkan ganjaran sesuai dengan perbuatannya tersebut. Mereka yang pro
terhadap penahanan anak juga berdasarkan pada pemberian efek jera seperti ini
akan lebih efektif untuk mempengaruhi anak-anak lainnya untuk tidak meniru apa
yang telah teman mereka lakukan. Dengan dasar tersebutlah maka penahanan kepada
anak haruslah dilakukan selama perbuatannya tersebut terbukti melanggar aturan
perundang-undangan.
Untuk
mengatasi hal tersebut maka penjatuhan hukuman kepada anak tetap akan
diberlakukan mengingat negara ini adalah negara hukum yang menjungjung tinggi
hukum. Namun untuk implementasinya jelas berbeda dengan apa yang terdapat pada Lembaga
pemasyarakatan untuk orang dewasa. Untuk lembga pemasyarakatan khusus anak
harus memperhatikan dasar hukum yang berada dibawah ini:
1. Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-bangsa.
2. Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Ekonomi dan Sosial.
3. Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik.
4. Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat Manusia.
5. Deklarasi Hak Anak 1959.
6. Konvensi Hak Anak.
7. Riyadh Guidelines (Pedoman
PBB tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak).
8. Beijing Rules
(Peraturan-Peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Administrasi Peradilan Bagi
Anak).
9. Havana Rules (Peraturan
PBB untuk Perlindungan Anak yang Dicabut Kebebasannya).
10. Tokyo Rules (Peraturan PBB
untuk Upaya-Upaya Non Penahanan).
11. Standar Minimum bagi
Perlakuan terhadap Narapidana.
12. Undang-Undang RI Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
13. Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
14. Undang-Undang RI Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
DAFTAR
PUSTAKA
DPR RI, Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Jatim: Usaha nasional-Surabaya, 1981.
http://bimkemas.kemenkumham.go.id/attachments/article/201/draft-pedoman-perlakuan-dan-pembinaan-anak-januari-2010.pdf
(Diakses pada tanggal 12 Juni 2012)
http://ferli1982.wordpress.com/2010/12/21/kasus-perjudian-anak/
(diakses pada tanggal 12 Juni 2012)
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2009/07/UU-PERLINDUNGAN-ANAK.pdf (diakses pada
tanggal 12 Juni 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar