.

hate me, im perfect

Senin, 27 Januari 2014

BUBUR KAYU - NAVICULA

bubur kayu oh hutanku

kau ditebang untuk jadi bubur kayu


tebang lagi, jual lagi


tak kan henti hingga semua hutan jadi


bubur kayu enak



bubur kayu, banjir bubur


banjir bubur kini jadi banjir lumpur

tebang lagi, jual lagi

tak kan henti hingga semua hutan jadi

bubur kayu enak


bubur kayu


bubur kayu, sarapanmu


habis makan tidak lupa cuci tangan

hutan mati, tanam lagi

tapi pohon sawit bukan pohon asli

minyak sawit enak

 
penjaga hutan, tak berdaya

karena si pencuri adalah penguasa

tebang lagi, jual lagi

tak kan henti hingga semua hutan jadi

bubur kayu enak


bubur kayu

hutan bikin emas bersinar

tebang terus, terus terang

hutan akan ditebang terus

LOVE BOMB - NAVICULA

we'll change the world
we'll start today
we'll build a love bomb, to blow the end away

we'll change the world
we'll start today
we'll take the fast lane
together all the way

we'll build a love bomb
to blow the end away
i'll to care and to always be there

love to live and live to love

i'll burn inside you
with bombs of love
the world is burning
with bombs of love
love to live and live to love

REFUSE TO FORGET (menolak lupa) - NAVICULA

i can see your bloody past
reflected on poison glass
you tried to hide this in the sky
but we learned how to fly

history is all the same
seeds of change leced with pain
even if i lost my voice
i still have a choice
i refuse to forget

hide the truth with buried bones
all that's left are broken homes
vultures eat his frozen flesh
his soul will never rest

stealing, killing, spreading lies
one man dies millions rise
you can't tell us where to go
or what not to know
I REFUSE TO FORGET

dedication to (alm) MUNIR sang aktivis dan pejuang HAM

DAYS OF WAR, NIGHT OF LOVE - NAVICULA


the year keeps up late

morning coffee in a rush

strange places, strager faces

long race, i can't see the finish line


it's so good to be home

to wake up next to you again

walk barefooot on the soil

that raised me

feed my soul, again


tomorroow comes, another fight

but today i'm sleeping in

and tell you bout my time away

what i lost and what i've gained

eating out, our favorite spot

familiar it's been so long

forget about my days of war

to nights our night of love


i'm drained, but i can't stop yet

each turn, every slope is somethin new

this hill, higher than i thought

but my lord, babe you won't believe the view
 


Jumat, 17 Januari 2014

MXPX ALL STAR LIVE IN BALI 2012





WE ARE CRICKET KLUNGKUNG #CRICKET






 
Prestasi : 
Medali Perak (putra) Pada Pekan Olahraga Provinsi Bali tahun 2009 di Kabupaten Badung
Medali Emas (putri) Pada Pekan Olahraga Provinsi Bali tahun2013 di Kota Denpasar
Medali Perak (putra) Pada Pekan Olahraga Provinsi Bali tahun2013 di Kota Denpasar
Medali Perunggu (Putra) Pada Pekan Olahraga Provinsi Bali tahun2013 di Kota Denpasar


Antara Tajen dan Tabuh Rah

Tabuh rah dan tajen sama-sama merupakan sabungan ayam yang berada dalam masyarakat di Bali. Pada tahap pelaksanaannya tabuh rah dan tajen merupakan dua hal yang sulit untuk dibedakan. Sehingga masyarakat di Bali sampai saat ini masih kalang kabut akan pemaham terhadap kedua istilah tersebut dan cenderung dipandang sebagai hal yang sama. Dalam konsep yang mendasar tabuh rah merupakan bentuk rangkaian dari upacara keagamaan sedangkan tajen sepenuhnya bermotif judi yang lebih lanjut dilarang dalam ajaran agama hindu. Didalam Atha Nawano’dhyayah (Buku kesembilan) Pustaka Suci Manusmrti atau Manawa Dharmaçastra Judi ini disebutkan dengan istilah “DYUTA”, yaitu dalam beberapa sloka sebagai berikut:

  • Sloka 221: “Dyutam samahwayam caiwa, raja ratranni warayet, rajanta karana wetau, dwau dosau pritiwiksitam” yang artinya: perjudian dan bertaruh supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya, kedua hal itu menyebabkan kehancuran kerajaan putera mahkota. 
  • Sloka 222: “Prakacam etattaskaryam, yad dewanasama hwayau, tayornityam pratighate, nripatir yatna wanbhawet” yang artinya: perjudian dan pertaruhan menimbulkan pencurian, karena itu raja harus menekan keduanya itu. 
  • Sloka 223: “Apranibhiryat kriyate, talloke dyutamusyate, pranibih kriyate yastu, na wijneyah samah wayah” yang artinya: kalau barang-barang tak berjiwa yang dipakai pertaruhan sebagai uang, hal itu disebut perjudian, sedangkan kalau yang dipakai adalah benda-benda berjiwa untuk dipakai pertaruhan, hal itu disebut pertaruhan. 
  • Sloka 227: “Dyutam etat pura kalpe, drestam wairakaram mahat, tasmad dyutam na seweta, hasyarthamapi bhuddhiman” yang artinya: didalam jaman itu keburukan judi telah tampak dan menyebabkan timbulnya permusuhan, karena itu orang yang baik harus menjauhi kebiasaan-kebiasaan ini, walaupun untuk kesenangan

Apabila mengacu pada kitab suci agama hindu, larangan judi juga terdapat dalam Weda, adapun diantaranya sebagai berikut:
 
  • Rgweda X.34.13: “Aksair ma divyah simit krsasva, vitte ramasva bahu manyamanah, tatra gavah kitava tatra jaya, tan me vicaste savitayamaryah” yang artinya: wahai para penjudi, janganlah bermain judi, bajaklah tanah itu, selalu puas dengan penghasilan sendiri, pikirkan bahwa itu cukup. Pertanian menyediakan sapi-sapi betina dan dengan itu istrimu tetap bahagia. desa Savita dewata alam semesta telah menasehatimu untuk berbuat begitu.
  •  Rgweda.X.34.10: “Jaya tapyate kitavasya hina, mata putrasya caratah kva svit, mava bibhyad dhanam icchamanah, anyesam astam upa naktam eti” yang artinya: Istri seorang penjudi yang mengembara mengalami penderitaan yang mendalam dalam kemelaratan dan ibu seorang putra yang berjudi itu tetap dirundung derita, dia yang dalam lilitan utang dan kekurangan uang, memasuki rumah orang-orang lainnya dengan diam-diam dimalam hari.
  • Rgweda X.34.3: “Dvesti sva rur apa jaya runaddhi, na nathito vindate marditaram, asvasyeva jarato vasnvasya, naham vindami katavasya bhogam” yang artinya: Ibu mertua membenci, istrinya menghindari dia, sementara pada waktu mengemis dia tidak menemukan seorangpun yang merasa belas kasihan. Istri penjudi itu berkata sebagai seekor kuda yang berharga tetapi tidak bermanfaat, dengan cara sama kami tidak menikmati apapun sebagai istri seorang penjudi.

Suatu pandangan muncul bahwa tajen merupakan pergeseran dari konsep tabuh rah, akan tetapi menelaah lebih dalam sabungan ayam yang bermotif judi atau sama seperti tajen tidak hanya ada di Bali melainkan di daerah-daerah lain seperti di Madura, Jawa, Sulawesi, Pillipina dan Thailand. Berdasarkan pada hal tersebut lebih tepat kiranya tajen dipandang sebagai bentuk judi yang bersifat tradisional, berkembang dan membudaya hingga saat ini dalam kehidupan masyarakat di Bali.

Dalam upaya membedakan antara tabuh rah dengan tajen, dapat mengacu kepada kesebelas unsur tabuh rah yang merupakan hasil Seminar Kesatuan Tafsir Tentang Tabuh Rah yang diselanggarakan pada tahun 1976. Dengan dasar kesimpulan tersebut dapat ditentukan bahwa aduan ayam yang memenuhi kesebelas unsur tersebut di atas adalah “Tabuh Rah” sedang yang lainnya atau melebihi ketentuan itu bukanlah tabuh rah (Parisada Hindu Dharma Pusat,1981:4).

Pararem

Pararem merupakan sebuah cerminan dimana hukum adat itu bersifat dinamis. Pararem merupakan bukti hukum adat tumbuh mengikuti perubahan masyarakat melalui putusan-putusan dalam sebuah paruman/rapat adat. Hasil keputusan inilah kemudian yang dikenal dengan istilah pararem. Sebelumnya sangat sulit untuk mencari referensi atau literatur yang memuat mengenai pararem. Dalam beberapa buku dan literatur ada disebutkan mengenai pararem, namun tidak dijelaskan tentang pengertiannya secara jelas. Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman dan Lembaga Adat, menjelaskan pengertian pararem adalah :

Pararem adalah hasil keputusan paruman desa atau banjar yang berisi ketentuan pelaksanaan awig-awig desa pakraman dan atau yang menyangkut hal prinsip diluar pelaksanaan awig-awig desa pakraman yang berlaku.

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa pararem timbul akibat dari sebuah fenomena atau gejala yang dianggap dapat mengganggu keseimbangan kehidupan masyarakat dimana didalam awig-awig hal tersebut tidak diatur, atau sudah diatur namun isinya masih ambigu atau belum prinsip mengarah kepada gejala sosial yang dimaksud atau memang perlu peremajaan aturan dari isi awig-awig tersebut agar sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat untuk itu dibuatlah aturan tambahan diluar awig-awig yang isinya adalah hasil musyawarah bersama didalam paruman (rapat) desa. Pararem dibentuk melalui suatu proses berdasarkan suatu keputusan pejabat yang berwibawa dalam paruman untuk mempertahankan hukum atau menyelesaikan perselisihan (Sirtha, 2008:29). Karena hal itulah pararem dapat dikatakan sebagai implementasi dari sila keempat Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

Pelaksanaan Awig-awig

Prajuru Desa Pakraman di Bali pada umumnya terdiri dari Bendesa (Kepala Adat), Petajuh (wakil Bendesa), Panyarikan (Juru tulis Bendesa), Kasinoman desa (Juru Arah), Pamangku (Pendeta untuk urusan agama), Kelihan Banjar (Kepala Banjar), Patajuh Kelihan (Wakil Kelihan Banjar), Panyarikan (Juru tulis Kelihan Banjar) (Surpha, 2002:58). Dalam pelaksanaannya awig-awig dan pararem dijadikan pegangan oleh para prajuru desa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Kemudian mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 3 tahun 2001 telah dijelaskan juga prajuru desa dalam menegakkan awig-awig didampingi oleh pecalang sebagai petugas keamanan desa adat. Prajuru desa bersama pecalang dalam menegakkan awig-awig secara adil dan bijaksana agar dapat menjadi panutan bagi masyarakat dan hal ini juga yang akan mendorong masyarakat akan mematuhi awig-awig.

Ketegasan dan kebijakan para pemegang kuasa atas hukum adat sangat berperan juga dalam mengatasi konflik yang terjadi dalam masyarakat adat. Hal ini tidak terlepas dari aturan yang ada pada hukum adat lebih banyak menyinggung aspek materiil mengenai pedoman kehidupan yang berbentuk larangan-larangan dan perintah-perintah dibandingkan dengan hukum acaranya menyangkut bagaimana proseduralnya. Maka moral dan etika yang baik dari penegak dan pelaksana hukum adat merupakan faktor lain agar awig-awig dan pararem itu dapat berlaku secara maksimal yang kemudian akan terciptalah keefektifitasan pelaksanaan hukum adat.

Awig-awig dibuat sesuai dengan situasi dan kondisi objektif masing-masing desa pakraman. Sehingga dalam pelaksanaannya sering ditemui serta sangat terbuka adanya perbedaan antara awig-awig dan pararem yang berlaku di desa pakraman satu dengan awig-awig dan pararem yang berlaku di desa pakraman yang lainnya, walaupun secara geografis letak desa pakraman tersebut relayif dekat. Perbedaan ini dianggap normal dan lumrah, sesuai dengan asas desa mawacara (Windia, 2010:11).

Fungsi Awig-awig

Hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat berfungsi sebagai pengatur dan pengendali perilaku warga masyarakat agar tetap dalam kaidah-kaidah yang ada dan tidak melanggar adat istiadat setempat. Ini merupakan penjelasan dimana sebuah hukum itu esensi utamanya adalah untuk mengatur kehidupan manusia. Hukum itu ada untuk manusia bukan sebaliknya manusia ada untuk hukum.

Awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bersama bagi krama desa di desa pakramannya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan sejahtera di desa pakraman. Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar yang menyangkut Buwana Agung dan Buwana Alit serta sanksi-sanksinya. Awig-awig desa pakraman, merupakan hukum adat yang mempunyai fungsi :
  • Berfungsi untuk mengembalikan ketimpangan atau ketidakseimbangan dalam Buwana Agung dan Buwana Alit yang berdampak pada disharmonisasi konsep Tri Hita Karana.
  • Untuk mengatur dan mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapai ketertiban dan ketentraman masyarakat. 
  • Membantu masyarakat/krama desa dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan dalam kehidupan.
  • Berfungsi sebagai pedoman tata cara serta syarat sesajen dalam suatu upacara baik adat ataupun keagamaan. 
  • Berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan persembahyangan dan bahkan berpakaian dalam suatu upacara. 
  • Berfungsi sebagai pedoman prajuru desa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. 
  • Berfungsi sebagai pedoman untuk mengelola dan pembagian hasil atau kekayaan milik desa. 
  • Berfungsi untuk mengintegrasikan warga masyarakat dalam suatu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama sepenanggungan dan seperjuangan. Awig-awig merupakan pengikat persatuan dan kesatuan krama desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam manyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera di wilayah desa pakraman. (Bligung dalam: http://bligung.blogspot.com).

Tri Hita Karana Sebagai Landasan Filosofi Awig-awig

Awig-awig adalah bentuk aturan yang mengandung nilai religiuitas tinggi yang berisi ketentuan-ketentuan dalam menjalankan konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan konsep luhur yang telah ada pada masyarakat Bali sejak dulu yang bersumber dari ajaran Agama Hindu. Konsep inilah yang menjadi ciri pembeda masyarakat Hindu Bali dengan masyarakat lainnya yang ada di luar Bali. Tri Hita Karana sebagai pokok pangkal titik tolak kehidupan masyarakat Bali, sehingga pengambilan ketimpangan masyarakat selalu didasarkan kepada ketiga unsur yang ada didalamnya. Yang paling penting bagi masyarakat Bali adalah adanya keharmonisan, keseimbangan, keserasian antar dunia lahir dan dunia batin, antar golongan manusia sebagai keseluruhan orang seorang, antara persekutuan dan teman-teman semasyarakat dan terhadap lingkungan alam sekitar (Surpha, 2002:136).

Secara tekstual, Tri Hita Karana memiliki arti Tri yang berarti Tiga, Hita yang berarti kesejahteraan, dan Karana yang berarti sebab. Jadi Tri Hita Karana adalah tiga penyebab kesejahteraan. Secara umum dapat dikatakan bahwa konsep Tri Hita Karana memberikan kesejahteraan kepada manusia dengan catatan manusia harus menjaga keharmonisan tiga unsur yang ada pada konsep tersebut. Ketiga unsur itu adalah Sanghyang Jagatkarana (Tuhan Sang Pencipta), yang kedua adalah unsur Bhuana yakni alam semesta, dan ketiga adalah Manusa (Manusia). Kesejahteraan akan tercapaia bila keharmonisan diantara ketiga unsur tersebut sudah terjadi. Maka dari itu manusia harus menjaga dan menciptakan keharmonisan antar sesama manusia, kepada alam dan lingkungan serta kepada Tuhan Yang Maha Esa/ Sang Hyang Widhi.

Dalam bukunya yang berjudul Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, (Sirtha, 2008) menjelaskan beberapa bentuk hubungan manusia dalam penerapan konsep Tri Hita Karana. Yang pertama adalah kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa tercermin pada kegiatan berbagai upacara keagamaan yang dikenal dengan sebutan Panca Yadnya, yaitu Dewa Yadnya (berbagai persembahan yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa), Manusia Yadnya (upacara keagaamaan yang titujukan kepada manusia, seperti upacara pernikahan, potong gigi, dan lain-lain), Resi Yadnya (upacara yang ditujakan kepada para Resi/Orang Suci), Pitra Yadnya (upacara keagamaan yang ditujukan kepada para leluhur), Bhuta Yadnya (upacara keagamaan yang ditujukan kepada alam dan beserta isinya seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan).

Kedua, kegiatan masyarakat desa dalam hubungan antar manusia dan sesamanya tercermin pada kehidupan pawongan. Didalam pawongan inilah terjadi banyak aktivitas seperti gotong royong, tolong menolong, bekerja, sampai organisasi yang terhimpun dalam berbagai bentuk sekaa, yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Dalam perkumpulan itu, warga desa dapat berkreasi untuk menyalurkan bakat-bakatnya demi kelangsungan hidupnya.

Ketiga, Kegiatan warga masyarakat desa dalam hubungannya dengan alam, baik dalam lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, terlihat pada kegiatan mengolah dan memelihara alam fisik sebagai sumber mata pencaharian dan sebagai tempat pemukiman menjadi hak dan kewajiban setiap warga desa. Lingkungan sosial menjadi tempat bagi warga desa untuk melakukan berbagai kreasi yang melahirkan karya seni budaya.

Nilai yang terdapat pada konsep Tri Hita Karana yaitu adalah nilai harmonis. Kita ketahui harmonis akan memberikan enerji positif bagi kehidupan manusia, sehingga dengan harmonis ini manusia dapat menciptakan dan membangun keseimbangan dalam hidup karena hakekat kehidupan sebenarnya adalah membangun keseimbangan (life is balance). Jika keseimbangan unsur tersebut telah mampu untuk dicapai dalam kehidupan maka kesejahteraan kedamaian hidup manusia akan bisa dicapai.

Bagaimana bila terjadi disharmonisasi? Bila terjadi disharmonisasi pada salah satu unsur tentu akan mempengaruhi keseimbangan unsur yang lainnya. Disharmonisasi akan memberikan enerji negatif bagi kehidupan manusia yang akan berdampak pada ketidak seimbangan unsur Tri Hita Karana. Karena dapat kita katakana Tri Hita Karana bagaikan sebuah sistem yang mengatur pola tatanan kehidupan masyarakat. Jadi layaknya sebuah sistem jika salah satu unsur terganggu maka unsur lainnya juga akan terganggu. Sebagai contoh adalah konflik antar warga, hal ini berarti keseimbangan unsur pawongan sudah tidak tercapai. Konflik atau disharmonisasi antar warga yang kini sering terjadi tentu berdampak pada keseimbangan unsur palemahan dan parhyangan. Terjadinya konflik tidak jarang akan berdampak pada hubungan kemasyarakatan, sampai pada aksi pembakaran, perusakan lingkungan, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu dampak dari adanya konflik tersebut juga mengakibatkan disharmonisasi unsur Parhyangan. Sering kita temui konflik adat antar warga desa satu dengan desa lainnya yang didasari oleh kasus perebutan Pura, tentu ini akan menodai kesucian pura tersebut.

Awig-awig Dalam Desa Pakraman

Sama halnya didalam sebuah negara yang memiliki undang-undang atau hukum dasar yang mengatur kehidupan warganya dan sebuah organisasi yang memiliki anggaran dasar rumah tangga yang digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan organisasinya. Begitu juga dengan desa pakraman yang merupakan sebuah lembaga adat juga mempunyai hal serupa. Desa pakraman di Bali memiliki sebuah aturan adat yang digunakan sebagai aturan khusus untuk mengatur kehidupan masyarakat adat dalam wilayah kehidupan desa pakraman diluar kehidupan desa dinas yang berpedoman pada hukum nasional/negara.

Awig-awig berasal dari kata “wig” yang artinya rusak sedangkan “awig” artinya tidak rusak atau baik. Jadi awig-awig dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi baik. Secara harfiah awig-awig memiliki arti suatu ketentuan yang mengatur tata krama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang ajeg di masyarakat (Surpha, 2002:50). Sedangkan dalam Perda Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman dan Lembaga Adat, menyatakan :

Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar adat yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan Dharma Agama di desa pakraman atau banjar pakraman masing-masing.

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 disebutkan bahwa Hukum Adat (awig-awig dan pararem) adalah hukum adat Bali yang hidup dalam masyarakat Bali yang bersumber dari Catur Dresta serta dijiwai oleh Agama Hindu Bali. Catur Dresta yakni, Sastra Dresta yakni ajaran-ajaran agama, Kuna Dresta yakni nilai-nilai budaya, Loka Dresta yakni pandangan hidup dan Desa Dresta yakni adat istiadat setempat (Windia, 2010:50).

Karakteristik yang dapat ditemui dalam awig-awig, diantaranya adalah :
  • Bersifat sosial religius, yang tampak pada berbagai tembang-tembang, sesonggan, dan pepatah-petitih. Untuk membuat sebuah awig-awig harus menentukan hari baik, waktu, tempat dan orang suci yang akan membuatnya, hal ini dimaksudkan agar awig-awig itu memiliki kharisma dan jiwa/taksu. Awig-awig yang ada di desa pakraman tidak saja mengatur masalah bhuwana alit (kehidupan sosial) tapi juga mengatur bhuwana agung (kehidupan alam semesta). Hal inilah yang mendorong Masyarakat Bali sangat percaya dan yakin bahwa awig-awig ataupun pararem tidak saja menimbulkan sanksi sekala (lahir) juga sanksi niskala (batin).
  • Bersifat konkret dan jelas artinya disini hukum adat mengandung prinsip yang serba konkret, nyata, jelas, dan bersifat luwes. Kaedah-kaedah hukum adat dibangun berdasarkan asas-asas pokok saja, sedangkan pengaturan yang bersifat detail diserahkan pada pengolahan asas-asas pokok itu dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Jadi dari sini akan muncul peraturan adat lain seperti pararem sebagai aturan tambahan yang berisi petunjuk pelaksana, aturan tambahan, dan juga bisa saja sanksi tambahan yang belum ada, sudah tidak efektif atau belum jelas pengaturannya dalam awig-awig.
  • Bersifat dinamis, hukum adat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ketika masyarakat berubah karena perkembangan jaman, hukum adat ikut berkembang agar mampu mengayomi warga masyarakat dalam melakukan hubungan hukum dengan sesamanya (Sirtha, 2008:152).
  • Bersifat kebersamaan atau komunal. Dalam Hukum Adat Bali tidak mengenal yang namanya Hakim Menang Kalah, namun yang ada adalah Hakim Perdamaian. Karena Hukum Adat Bali lebih mementingkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan. Setiap individu mempunyai arti penting di dalam kehidupan bermasyarakat, yang diterima sebagai warga dalam lingkungan sosialnya. Dengan demikian, hukum adat menjaga keseimbangan kepentingan bersama dengan kepentingan pribadi. Dalam awig-awig desa pakraman menjaga keseimbangan tiga aspek kehidupan manusia merupakan hal terpenting serta inilah yang membedakan awig-awig dengan hukum adat lainnya. Kita ketahui bersama masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat yang memiliki sifat komunal dan kekeluargaan dalam kehidupan kesehariannya, artinya manusia menurut hukum adat setiap individu mempunyai arti penting di dalam kehidupan bermasyarakatmempunyai ikatan yang erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapisan hukum adat (Sudiatmaka, 1994:12).
  • Karakteristik lainnya dari awig-awig yakni tidak seperti hukum nasional atau hukum barat yang jarang mengakomodir dimensi sosiologis, hukum adat sebaliknya lebih mengakomodir dimensi sosiologis. Dengan demikian, dalam pembangunan hukum nasional, hukum adat menjadi bahan-bahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan lembaga-lembaga hukum adat seperti lembaga keamanan tradisional yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dapat digunakan dalam penegakan hukum (Sirtha, 2008:27).
Awig-awig yang hidup dalam masyarakat tidak hanya membedakan hak dan kewajiban melainkan juga memberikan sanksi-sanksi adat baik berupa sanksi denda, sanksi fisik, maupun sanksi psikologi dan yang bersifat sprirtual, sehingga cukup dirasakan sebagai derita oleh pelanggarnya. Sanksi Adat adalah berupa reaksi dari desa pakraman untuk mengembalikan keseimbangan magis yang terganggu. Jenis-jenis sanksi adat yang diatur dalam awig-awig maupun pararem antara lain :

a. Mengaksama (minta maaf),

b. Dedosaan (denda uang),

c. Kerampang (disita harta bendanya),

d. Kasepekang (tidak diajak bicara) dalam waktu tertentu,

e. Kaselong (diusir dari desanya),

f. Upacara Prayascita (upacara bersih desa) (Sirtha, 2008:32).

Hukum Adat Dalam Masyarakat Bali

Desa pakraman yang ada di Bali memiliki aturan-aturan baik tertulis atau tidak tertulis untuk mengatur kehidupan warga masyarakatnya yang berlaku bagi desa pakraman yang bersangkutan. Pada dasarnya esensi dari aturan-aturan tersebut bertujuan untuk menjaga keharmonisan kehidupan masyarakat. Kehidupan desa pakraman di Bali berpijak pada konsep Tri Hita Karana yakni menjaga keharmonisan kehidupan manusia dengan sesama manusia yang disebut pawongan, yang kedua menyangkut keharmonisan kehidupan manusia dengan alam yang disebut palemahan, dan yang terakhir menyangkut keharmonisan kehidupan manusia dengan Tuhan/Sang Hyang Widhi yang disebut parhyangan. Jadi tiga hubungan itu harus bisa dijaga secara harmonis oleh manusia, maka itu dalam aturan hukum adat pada masyarakat Bali ketiga hal itulah yang ditekankan. Karena memang itu tiga aspek hubungan itulah kunci yang harus dijaga manusia agar bisa hidup damai, aman dan sejahtera (shanti).

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 disebutkan bahwa Hukum Adat adalah hukum adat Bali yang hidup dalam masyarakat Bali yang bersumber dari Catur Dresta serta dijiwai oleh Agama Hindu Bali. Catur Dresta yakni, Sastra Dresta yakni ajaran-ajaran agama, Kuna Dresta yakni nilai-nilai budaya, Loka Dresta yakni pandangan hidup dan Desa Dresta yakni adat istiadat setempat (Windia, 2010:50).

Masyarakat Bali memiliki keyakinan bahwa hukum adat tidak saja memiliki sanksi secara sekala (dunia nyata) tapi juga memiliki sanksi yang bersifat niskala (tidak nyata/dunia akhirat). Hal ini tidak terlepas dari ajaran Agama Hindu yang telah mengakar dan tumbuh berbarengan dengan adat kebudayaan orang Bali. Jadi bila membicarakan adat di Bali juga akan membicarakan Agama Hindu begitu pula sebaliknya. Agama Hindu di Bali ada ditiap masyarakat dengan balutan adat kebudayaannya. Hukum adat merupakan aspek dari kebudayaan. Hasil dari kebudayaan masyarakat Bali salah satu diimplementasikan menjadi hukum adat berupa awig-awig atau pararem. Dapat digambarkan sebagai berikut ini, Agama adalah kepalanya sedangkan kebudayaan adalah badannya karena itulah tindakan adat istiadat masyarakat Bali didasari oleh ketentuan Agama Hindu. Karena hal ini pula masyarakat Bali dikatakan sebagai masyarakat sosial religius hinduistis.

Hukum adat yang dibuat oleh para penglingsir (sesepuh) desa pakraman saat ini tentunya tidak mampu lagi untuk menyentuh kehidupan masyarakat, karena perkembangan masyarakat saat ini sudah berubah jadi orientasi lama tidak mampu lagi untuk digunakan sebagai pedoman aturan kehidupan saat ini. Disisi lain dalam situasi perubahan masyarakat sangat cepat banyak awig-awig dan pararem belum dilakukan penyuratan oleh desa pakraman bersangkutan. Surpha (2002) Menjelaskan, masyarakat Bali sangat mempercayai dan menaati serta menjalankan dengan baik dan sebagaimana mestinya warisan adat-istiadat yang telah ada secara turun menurun. Namun hal tersebut tidak berarti apa yang telah diwariskan tidak boleh dirubah atau dilakukan penyempurnaan adat kebiasaan yang diterimanya itu, sepanjang perubahan dan penyempurnaan tersebut demi sebuah kebaikan keseimbangan kehidupan masyarakat dan itu dibenarkan oleh ajaran Agama Hindu.

Awig-awig merupakan implementasi hukum adat dan hukum adat berdasar pada nilai-nilai masyarakat sehingga sering disebut sebagai hukum yang hidup. Seperti yang kita ketahui bersama hukum adat memiliki sifat yang fleksibel atau dinamis, dimana hukum adat selalu akan berkembang dan disesuaikan dengan bagaimana perkembangan yang terjadi ditengah masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan adanya globalisasi dan modernisasi pola perilaku dan kebiasaan masyarakatpun ikut berubah. Disinilah hukum adat dapat membuktikan diri bahwa dirinya memiliki sifat yang fleksibel dan dinamis.

Untuk mengubah ataupun menyempurnakan adat kebiasaan, Agama Hindu menganjurkan agar berpedoman pada ketentuan-ketentuan Desa Kala Patra. Secara tekstual Desa Kala Patra memiliki arti, Desa berarti tempat dimana ia berada, Kala berarti dalam keadaan bagaimana ia pada waktu itu, dan Patra berarti sastra-sastra agama dan ketentuan yang dinyatakan berlaku oleh pemerintah atau (raja) (Surpha, 2002:40). Dari itu desa pakraman perlu melakukan reinterprestasi dalam melaksanakan warisan awig-awig dan pararem dan memerlukan cara pandang baru dalam “menerjemahkan” asas desa mawacara menjadi awig-awig dan pararem, sehingga lebih sesuai dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi disekitar desa pakraman (Windia, 2010:6).

Dinamika Desa Pakraman

Desa pakraman pada hakikatnya ibarat sebuah asrama yang berdasarkan ajaran Agama Hindu dalam menata umatnya dalam suatu wilayah desa. Awig-awig adalah norma utama untuk menata dinamika kehidupan di desa pakraman. Sumber awig-awig adalah Catur Dresta dan dijiwai oleh Agama Hindu. Berbicara soal kehidupan adalah berbicara soal bhuwana agung (alam semesta) dan bhuwana alit (lingkungan hidup manusia) dengan segala permasalahannya baik yang bersifat sekala maupun niskala. Desa pakraman sebagai wadah Umat Hindu untuk mengamalkan ajaran Agama Hindu. Desa pakraman seyogianya dibina sebagai wadah untuk mengembangkan kehidupan sekala dan niskala secara simultan berdasarkan ajaran Agama Hindu.

Seperti pada penjelasan penulis sebelumnya, Kehidupan desa pakraman saat ini di dihadapkan pada berbagai permasalahan yang muncul baik dari dalam maupun dari luar. Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, kini sedang mengalami proses transformasi sosial budaya, baik karena faktor internal dari kehidupan masyarakat Bali maupun karena faktor eksternal dari luar masyarakat Bali itu sendiri. Dalam proses transformasi sosial budaya Bali tersebut, di samping ada pengaruh-pengaruh positif yang diterima masyarakat Bali, tidak dapat dimungkiri pula adanya pengaruh-pengaruh negatif yang timbul. Hal ini yang ditengarai telah menyebabkan masyarakat Bali mulai bergeser dari ciri-ciri masyarakat tradisional, mengutamakan nilai-nilai sosial komunal, mengembangkan lokal genius, dan sebagai masyarakat yang religius berubah ke ciri-ciri masyarakat kota yang modern, eksploitatif, bernafsu tinggi, individualistik, konsumeristik, dan sekuler.

Soekarno pernah berkata “Perjuanganku saat ini lebih mudah karena aku melawan penjajah dari luar tapi perjuangan kalian akan lebih berat karena yang harus kalian hadapi adalah saudara kalian sendiri”. Kalimat yang diucapkan oleh Presiden Republik Indonesia yang pertama ini memang bukan hisapan jempol semata. Apa yang menjadi esensi dari kalimat tersebut mengenai kekuatan kita untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ditengah perlawanan yang datang dari dalam. Dimana hal ini tentu akan berdampak pada keberlangsungan kesatuan dan persatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia terlebih kita di Bali yang ancaman mengenai disharmonisasi sosial kian meningkat tajam karena inilah dinamika kehidupan yang sedang kita hadapi saat ini. Konflik antar sesama bisa kita temui setiap saat baik melalui media elektronik maupun cetak dan selalu menjadi head line (berita utama) pagi disetiap surat kabar. Ini adalah ancaman dan perjuangan yang sangat berat bagi kita semua generasi penerus bangsa ini.

Perubahan-perubahan sosial budaya yang cenderung negatif tersebut telah menimbulkan berbagai bentuk keprihatinan dan atau kekawatiran. Salah satu yang paling populer diwacanakan di banyak media masa baik itu cetak maupun elektronik dewasa ini adalah munculnya kehendak berbagai pihak, dari kalangan elit politik dan pejabat pemerintahan di daerah, budayawan, seniman, tokoh-tokoh atau penglisir (sesepuh) masyarakat, kalangan ahli, pengamat sosial budaya dan lingkungan, kalangan pariwisata, kalangan pendidik, hingga masyarakat umum di tingkat bawah, untuk mengembalikan Bali untuk Bali. Wacana yang populer itu, menginginkan kehidupan masyarakat Bali kembali berlandaskan aplikasi konsep-konsep dan nilai-nilai serta praktik kehidupan beragama Hindu di Bali menurut ajaran Tri Hita Karana.

Kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” diambil dari karya Mpu Tantular dalam Kekawin Sutasoma lebih lengkapnya berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa” bermakna walaupun berbeda-beda bangsa Indonesia tetap satu tidak bisa dipisahkan. Dasar yang kuat ini merupakan modal besar bangsa Indonesia pada jaman dulu untuk melakukan revolusi merebut kemerdekaan dari bangsa penjajah. Jadi dalam hal pengertian persatuan Indonesia, sudah melekat suatu pengakuan terhadap kebhinnekaan, tetapi bukan untuk dipertentangkan sehingga menghasilkan pertikaian, perpecahan dan permusuhan, melainkan untuk disatupadukan (Rindjin, 2009:121). Perbedaan-perbedaan suku-bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang diperkenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda (Nasikun, 2005:35).

Konflik Adat

Yang dimaksud dengan konflik ataupun kasus adat adalah kasus-kasus yang bertentangan dengan Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan dan Palemahan) (Surpha, 2002:154). Di Bali konflik adat merupakan ancaman besar bagi eksistensi masyarakat Bali yang kini mendapatkan perhatian besar dari banyak kalangan. Konflik yang terjadi dalam masyarakat Bali beberapa tahun ini intensitasnya sangat tinggi. Beberapa kasus setelah diidentifikasi dapat digolongkan ke dalam ranah konflik adat tapi ada pula konflik yang diklaim menjadi konflik adat atau tindakan kriminal yang diadatkan, seperti permasalahan pribadi yang kemudian mengajak kelompok besar seperti banjar adat sampai desa pakraman untuk ikut serta dalam putaran konflik tersebut. Latar belakang terjadinya konflik adat antara lain disebabkan oleh adanya perubahan sosial yang tampak pada perubahan perilaku warga masyarakat, dan terjadinya pergeseran nilai budaya (Sirtha, 2008:75).

Dalam kehidupan masyarakat adat di Bali awig-awig dan pararem sebagai sebuah aturan perilaku masyarakat adat di desa memiliki nilai dan filosofi dari konsep Tri Hita Karana dimana nilai-nilainya bersumber dari ajaran Agama Hindu, maka dalam kehidupan keseharian masyarakat Bali tercermin nilai-nilai religius, sosial, kekeluargaan dan harmonis antar sesama warga masyarakat. Keharmonisan merupakan kata kunci yang harus dijaga dalam kehidupan masyarakat. Segala tindakan atau perbuatan yang menganggu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum adat dan petugas hukum (prajuru adat) wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali keseimbangan hukum tersebut (Surpha, 2002:136).

Kesejahteraan hanya dapat dicapai bila terjadi keharmonisan dan keseimbangan kehidupan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi nilai kebersamaan dan kekeluargaan adalah yang utama dalam konsep Tri Hita Karana, walaupun nantinya terjadi konflik diusahakan penyelesaiannya dapat berjalan dengan damai agar keharmonisan dan keseimbangan kehidupan dapat kembali terjadi. Bila terjadi ketidak taatan warga masyarakat kepada awig-awig ataupun pararem dapat menimbulkan konflik adat berdasarkan prinsip kekeluargaan dimaksudkan agar terjadi kerukunan kembali dalam kehidupan masyarakat (Sirtha, 2008:74).

Ditengah perkembangan kemajuan teknologi dan pengetahuan, dinamika kehidupan sosial masyarakat kini pun kian berubah. Kesadaran akan peningkatan kesejahteraan yang semakin tinggi akibat dari perubahan yang cepat mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin maju, mengakibatkan adanya pergeseran nilai-nilai budaya masyarakat. Dengan kemajuan yang sedemikian rupa saat ini fenomena yang muncul adalah masyarakat sudah mulai berubah menjadi masyarakat yang konsumtif, eksploitatif, bernafsu tinggi, individualistik, konsumeristik, dan sekuler. Pergeseran yang terjadi antara lain, terjadi pergeseran nilai sakral menjadi profan, dan nilai agama bergeser menjadi nilai ekonomi. Dengan terjadinya perubahan nilai dalam perubahan orientasi dari kesederhanaan dan hemat menjadi rakus antara lain merupakan penyebab munculnya berbagai konflik di desa pakraman termasuk konflik batas wilayah yang melibatkan desa pakraman (Windia, 2010:28).

Dalam Hukum Adat Bali konflik tidak saja dipandang sebagai suatu pelanggaran atas hukum nasional yang harus diselesaikan dengan urusan pidana ataupun perdata, namun jauh dari itu Hukum Adat Bali memandang suatu konflik tidak saja harus diselesaikan secara sekala (nyata) tapi juga harus diselesaikan secara niskala (tidak nyata/akhirat). Hal ini karena dalam konsep kehidupan masyarakat Bali sebuah konflik yang terjadi pastinya menyebabkan disharmonisasi kepada tiga unsur yang terdapat pada konsep luhur masyarakat Bali yakni Tri Hita Karana.

Penyelesaian Konflik Adat

Saat ini wacana mewujudkan Ajeg Bali sangat sering kita dengarkan, namun apakah hal tersebut akan menjadi sebatas wacana saja ketika kita melihat dampak dari modernisasi dan globalisasi yang semakin kuat merubah pola pikir masyarakat sehingga terjadi pergeseran nilai-nilai budaya masyarakat. Seringnya terjadi konflik adat antar warga di Bali merupakan ancaman besar bagi keajeggan Bali. Hal ini diperparah dalam beberpa kasus konflik adat sampai saat ini masih belum terselesaiakn dan ada pula yang masih menggantung dalam penyelesaiannya. Bila ini tidak diambil tindakan untuk diselesaikan maka ancaman bom waktu perpecahan keharmonisan masyarakat Bali tinggal menunggu waktu untuk meledak.

Ketika terjadi konflik harus segera dilakukan penyelesaian agar kehidupan masyarakat dapat kembali harmonis dan damai. Konflik adat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat adat, yang terjadi sesuai dengan dinamika masyarakat dan memerlukan penyelesaian dengan cara-cara yang bijaksana. Dalam penyelesaian konflik ataupun masalah adat lainnya, awig-awig maupun pararem lebih mementingkan sanksi yang diberikan untuk mengembalikan kembali keseimbangan masyarakat yang telah terganggu oleh keadaan yang bertentangan dengan pola tingkah laku yang dihormati dan diterima dalam suatu kesatuan tata awig-awig ataupun pararem. Dalam penyelesaian masalah berdasarkan hukum adat dipergunakan asas rukun, patut, dan laras. Prinsip-prinsip hukum adat itu diwujudkan di dalam paruman atau sangkepan guna memecahkan masalah yang terjadi berdasarkan musyawarah mufakat (Sirtha, 2008:154).

Disini bentuk sanksi hukum dari awig-awig dan pararem pada umumnya berupa suatu upacara tertentu seperti mecaru, membayar denda sejumlah tertentu sebagai bentuk hukuman atas perbuatan yang telah dianggap menggoyahkan harmonisnya kehidupan di masyarakat (Artadi, 2003:83). Dimensi kekeluargaan yang sangat kuat terkandung di dalam awig-awig dan pararem ditambah dengan adanya kepercayaan magis akan sanksi yang akan timbul jika berani melanggar awig-awig atau pararem membuat sampai saat ini masih sangat ditaati dan dijalankan dengan baik sesuai dengan isinya.

Konflik adat dapat digolongkan kedalam konflik hukum yang memerlukan penyelesaian berdasarkan pada aturan hukum adat. Dalam penyelesaian konflik adat, harus terlebih dahulu dipahami aturan hukum adat mana yang dilanggar dan yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, dalam menangani konflik adat harus dipahami substansi hukum yang dilanggar dan bagaimana proses penyelesaiannya (Sirtha, 2008:77).

Landasan Desa Pakraman

Sebagai sebuah desa yang mencerminkan kehidupan adat dan religius, desa pakraman memiliki landasan filosofi dan religius yakni Tri Hita Karana yang bersumber ajaran Agama Hindu. Sedangkan sebagai landasan yuridis formal dapat dilihat dalam BAB VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah pasal 18B ayat 2 disebutkan bahwa :

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Dalam penjelasan pasal 18B ayat 2 UUD 1945 diatas yang dimaksud kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat adalah desa yang mempunyai susunan asli yang dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa, yakni dalam pengertian desa adat atau desa pakraman.

Menurut undang-undang nomor 8 tahun 2005 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 3 tahun 2005 tentang perubahan atas undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menjadi undang-undang (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548). Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru ini, pengertian desa di atur dalam Pasal 1 butir 12, yang menyatakan bahwa:

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian, secara formal keberadaan desa pakraman berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya bersamaan dengan keberadan desa dinas serta sama-sama mempunyai hak otonomi untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Walaupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tidak mengatur khusus tentang desa pakraman dalam isinya, akan tetapi tetap menghormati dan mengakui keberadaan atau eksistensi dari desa pakraman.

Dalam peraturan daerah Bali telah khusus dibuatkan peraturan mengenai desa pakraman yang sekaligus sebagai pemantap kedudukan dan landasan eksistensi desa pakraman. Peraturan daerah tersebut yakni Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Kedua Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman dan Lembaga Adat. Peraturan daerah ini pada dasarnya tetap berpegang pada falsafah Tri Hita Karana, sebagai landasan dalam pembuatan peraturan daerah di Bali. Selanjutnya, istilah desa yang digunakan di Bali adalah desa pakraman sesuai dengan maksud Peraturan Daerah Bali Nomor 3 tahun 2003. Dengan demikian keberadaan desa pakraman telah diakui secara formal menurut perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi landasan desa pakraman yang ada di Bali.

Tugas dan Wewenang Desa Pakraman

Antara desa pakraman dan desa dinas dalam pembagian tugas serta wewenangnya seringkali membingungkan para warga masyarakat. Kebingungan ini sudah terjadi sejak Belanda mendirikan desa dinas. Karena alasan kebingungan itulah kemudian muncul untuk sebutan untuk kedua desa tersebut, ada desa pakraman dan ada desa dinas. Namun saat ini seiring dengan perkembangan jaman, maka permasalahan yang timbul di dalam masyarakat juga semakin komplek. Seperti contoh permasalahan pembangunan ilegal seperti pembangunan kafé remang-remang atau pemberian ijin untuk pembangunan akomodasi pendukung pariwisata seperti hotel, resort, dan lain-lain. Untuk hal ini apakah desa dinas yang harus menyelesaikannya atau apakah desa pakraman. Dari sinilah dapat dikatakan wilayah kerja masing-masing desa tersebut memiliki hubungan kordinatif secara horizontal, jadi keduanya memiliki kedudukan sejajar, saling bantu yang sifatnya tradisional dan konsultatif. Desa pakraman berfungsi mengatur krama desa dalam pergaulan hidup bermasyarakat, sedangkan desa dinas berfungsi mengatur hubungan krama desa dengan pemerintah (Sirtha, 2008:6).

Sebagai wadah dalam pengembangan dan pelestarian kebudayaan, maka desa pakraman memiliki kepanjangan lembaga yang disebut banjar adat. Melalui banjar adat inilah kemudian aktivitas pengembangan dan pelestarian adat dilakukan secara lebih maksimal seperti pembentukan Sekaa-sekaa, diantaranya adalah Sekaa Numbeg, Sekaa Manyi, Sekaa Ngulah Semal, Sekaa Nembok, Sekaa Truna Truni, Sekaa Sambangan, Sekaa Drama, Sekaa Barong, Sekaa Gong, Sekaa Geguritan, dan lain-lain.

Banjar adat bukan merupakan badan hukum, namun badan hukumnya berada di desa pakraman. Desa pakraman dapat melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa. Hal ini menunjukkan bahwa desa pakraman sebagai subjek hukum bertanggung jawab penuh dalam mengayomi kramanya. Desa pakraman juga memiliki wewenang dalam menyelesaikan konflik atau sengketa adat. Karena desa pakraman ini didasari oleh konsep Tri Hita Karana maka penyelesaian konflik atau sengketa adat harus tetap membina kerukunan dan toleransi krama demi terwujudnya keharmonisan kehidupan masyarakat. Selain itu, desa pakraman turut serta menentukan setiap keputusan, sejak perencanaan sampai pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayah desa terutama yang berkaitan dengan perwujudan Tri Hita Karana (Sirtha, 2008:15).

Mengenai otonomi desa, desa pakraman berhak dan berkewajiban untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Isi dari pada otonomi desa pakraman meliputi bidang-bidang organisasi, ekonomi, sosial budaya dan pengaturan keamanan. Usaha-usaha yang diperlukan dalam menegakkan otonomi desa pakraman ialah dengan penyuratan awig-awig (Surpha, 2004:52). Kebebasan lain yang dimiliki oleh tiap desa pakraman di Bali yang dapat dikatakan otonomi adalah adanya asas desa mawacara, yakni kebebasan desa pakraman untuk membuat peraturan adatnya sendiri sesuai dengan Catur Dresta.

Tugas dan wewenang desa pakraman, dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 telah diatur dalam Bab III, yang menentukan antara lain :

Pasal 6

Desa pakraman di Provinsi Bali merupakan kesatuan hukum adat yang bersifat sosial keagamaan dan kemasyarakatan.

Pasal 7

a. Membantu pemerintah dalam kelancaran pelaksanaan pembangunan disegala bidang terutama dibidang adat, budaya dan agama.

b. Melaksanakan hukum adat dan adat-istiadat dalam wilayah desa pakraman.

c. Memberikan kedudukan hukum menurut struktur desa pakraman terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial keperdataan dan keagamaan.

d. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa pakraman untuk kesejahteraan masyarakat desa pakraman.

Struktur Desa Pakraman


Kata desa bila dibawa kedalam pengertian desa pakraman memiliki bunyi yang berbeda. Kata desa dalam ucapan masyarakat Bali seperti mengucapkan huruf “e” dalam kata “sembilan”. Desa dalam pengertian masyarakat Bali menunjuk suatu wilayah yang dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu, kecuali dibeberapa desa dalam kota dan desa-desa yang terletak dipinggir pantai yang penduduknya sudah heterogen yang terdiri dari berbagai umat beragama (Surpha, 2004:5).

Desa pakraman merupakan sebuah lembaga masyarakat Hindu Bali yang paling mendasar bagi interaksi sosial masyarakat. Desa pakraman sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat Umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kayangan Tiga atau Kayangan Desa, yang mempunyai wilayah tertentu serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Windia, 2010:8).

Dalam penyelenggaraan pemerintahannya, desa pakraman memiliki struktur kepengurusan yang disebut prajuru desa. Pada umumnya prajuru desa terdiri dari Bendesa (Kepala Desa), Petajuh (Wakil Bendesa), Panyarikan (Juru tulis Bendesa), Kasinoman (Juru Arah), Pamangku (Pendeta untuk urusan agama), Kelihan Banjar (Kepala Banjar), Patajuh Kelihan (Wakil Kelihan Banjar), Panyarikan (Juru Tulis Kelihan Banjar) (Surpha, 2002:58).


Prajuru desa pakraman dipilih secara demokratis oleh krama desa dalam sebuah paruman (rapat) adat. Masalah struktur dan susunan prajuru desa pakraman diatur dalam awig-awig desa. Nantinya awig-awig inilah yang akan dijadikan pedoman oleh para prajuru desa sebagai badan eksekutif dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Oleh karena itu, prajuru desa bertanggung jawab kepada krama desa, dan pertanggung jawaban itu dikemukakan melalui paruman yang bersifat demokratis (Sirtha, 2008:15).




Desa Pakraman

Manusia merupakan makhluk dengan kodrat sosial, jadi secara individu manusia tidak akan bernilai. Manusia akan bernilai jika sudah berada dalam masyarakat. Dengan demikian manusia akan membutuhkan tempat untuk tinggal dan mengadakan interaksi sosial dengan yang lainnya. Mereka secara berkemlompok tinggal disuatu tempat yang kemudian semakin besar membentuk sebuah desa. Desa merupakan persekutuan terkecil yang pertama ada sebelum adanya negara seperti yang kita ketahui saat ini.

Di Bali dikenal dua buah bentuk lembaga desa yang dijalankan oleh masyarakatnya. Lembaga desa yang pertama yakni desa pakraman yang kedua yaitu desa dinas. Dalam hal ini desa dinas merupakan lembaga pemerintahan terendah dalam sistem Pemerintahan di Indonesia untuk menjalankan tugas kedinasan ditingkat bawah, atau dapat dikatakan secara singkat desa dinas merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah dan dipimpin oleh kepala desa yang memiliki kedudukan dibawah camat. Sedangkan desa pakraman merupakan desa tradisional yang bukan bagian dari administrasi pemerintahan negara tapi merupakan lembaga adat yang berdiri khusus sebelum negara ini ada untuk mengayomi masyarakat dibidang kebudayaan dan agama.

Berbicara mengenai sejarahnya secara singkat dapat dikatakan desa yang pertama kali ada di Bali yakni desa pakraman atau dulu disebut desa dresta. Lembaga tradisional desa pakraman yang sebelumnya dikenal dengan desa adat ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Bali Kuno (abad 9 masehi) yang kemudian dipelihara dan ditaati secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Desa pakraman atau desa dresta memiliki sejarah sangat tua dan sudah disebutkan dalam beberapa prasasti Bali Kuno seperti prasasti Bwahan (Saka 947) di bawah raja Sri Dharmawangsa Wardhana, prasasti Bebetin (Saka 896), dan prasasti Sembiran bertahun Saka 987.

Sebelumnya desa pakraman masih dalam pengaruh kebudayaan Bali Kuno yang belum mengenal pengaruh Agama Hindu masih berupa kebudayaan Bali asli. Kemudian desa pakraman atau desa dresta ini mendapat pengaruh Agama Hindu seiring dengan masuknya orang-orang dari Kerajaan Majapahit ke Bali. Kemudian karena akulturasi budaya yang sangat kuat Agama Hindu dan Kebudayaan Bali menyatu sehingga sering muncul istilah Agama Bali atau Hindu Bali karena sangat sulit untuk melihat sebuah ritual di Bali apakah bagian dari adat atau agama. Desa pakraman di Bali kemudian berkembang menjadi desa pakraman yang diikat oleh kahyangan tiga, wilayah desa, kekayaan sendiri, dan otonomi sendiri.

Pada jaman pemerintahan belanda (1906-1908) muncul lembaga desa baru yang memiliki tugas sebagai lembaga administrasi pemerintahan tingkat bawah. Hal ini dilakukan oleh Belanda agar pekerjaan administrasi pemerintahan bisa lebih efisien dilakukan. Desa dinas yang saat ini ada di Indonesia merupakan warisan dari Pemerintah Belanda. Untuk memisahkan dua lembaga ini yang memiliki fungsi dan tugas yang berbeda maka muncullah kemudian istilah desa dinas dan desa adat atau desa pakraman.

Pada jaman Kerajaan Majapahit, nama desa pakraman itu disebut desa dresta, tapi pada zaman Pemerintahan Belanda desa tradisional yang berdasarkan ajaran Agama Hindu itu disebut desa adat. Hal ini karena pandangan Belanda saat itu melihat aktivitas yang dilakukan masyarakat di desa tergolong dalam adat kebudayaan bukan merupakan bagian dari agama. Namun seriring dengan perkembangan di desa pakraman karena ajaran Agama Hindu diterapkan sampai menjadi tradisi yang makin menguat. Kebiasaan sampai menjadi tradisi yang semakin menetap itu, oleh ahli hukum adat dari Belanda seperti Van Volen Oven dan Snouck Hugrogne, Setelah zaman reformasi, istilah desa adat dikembalikan pada nama aslinya yaitu desa pakraman. (Nika, dalam http://www.parisada.org).

Dalam prasasti Bwahan (Saka 916) terdapat kata karaman (bahasa sansekerta) yang berarti satu kelompok masyarakat yang mendiami satu wilayah permukiman tertentu atau berarti pula sebagai kumpulan orang-orang tua (yang sudah berkeluarga). Dari kata karaman ini kemudian menjadi kata krama yang berarti anggota (masyarakat desa) dan pakraman (desa pakraman) yang menunjukkan wilayah. Kata "desa" berasal dari Bahasa Sansekerta, dis, artinya petunjuk kerohanian. Dari kata ini timbul istilah upadesa artinya sekitar petunjuk-petunjuk rohani. Hita upadesa artinya petunjuk untuk mendapatkan kebahagiaan rohani. Desa sebenarnya berarti petunjuk-petunjuk hidup kerohanian yang berlaku dalam suatu grama. Kata grama lama-lama menjadi krama yakni masyarakat yang mendiami desa pakraman. Jadi, desa pakraman adalah suatu penguyuban hidup dalam suatu wilayah tertentu dimana kehidupan bersama itu diatur oleh suatu batasan-batasan berdasarkan ajaran Agama Hindu. Yang disebut desa adat dewasa ini sesungguhnya adalah desa pakraman.

Dalam Perda Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman dan Lembaga Adat dijelaskan pada pasal 1 butir 4 bahwa yang dimaksud dengan desa pakraman adalah :

Desa pakraman sebagai Desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.



Desa pakraman merupakan wadah bagi pengembangan dan pengamalan ajaran-ajaran Agama Hindu, yang umumnya diwujudkan dalam pelaksanaan adat. Desa pakraman berdiri sendiri sebagai sebuah lembaga adat yang menjalankan tugas sebagai pengemban pelestarian kebudayaan, nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan, terutama nilai-nilai etika, moral, dan adab yang merupakan inti dari adat istiadat.