Dalam aturan umum Kitab Undang-undang Hukum Pidana
ditentukan ada hal-hal yang menyebabkan seseorang yang telah melakukan tindak
pidana tidak dapat dihukum atau lazim disebut Dasar Peniadaan Pidana
(Strafuitsluitingsgronden) Ada yang disebut dengan alasan pembenaran, dan ada
juga yang disebut dengan alasan pemaaf, akan tetapi kita juga harus mengingat
dan membedakan dengan Dasar Peniadaan Penuntutan Pidana. Alasan pembenaran ini
maksudnya adalah orang yang telah melakukan suatu tindak pidana dibenarkan oleh
Hukum jadi perbuatan orang tersebut dimata hukum bukanlah suatu tindak pidana,
meskipun menurut kasat mata perbuatan tersebut secara tegas adalah tindak
pidana. dengan kata lain alasan pembenaran adalah alasan yang menghapuskan
sifat melawan hukum daripada peristiwa yang memenuhi ketentuan pidana, sehingga
perbuatan tersebut tidaklah merupakan tindak pidana.
Disamping alasan pembenaran ditentukan juga adanya alasan
pemaaf (Schulduitsluitingsgronden) yaitu, alasan yang menghilangkan kesalahan
seorang yang seharusnya bertanggung jawab atas suatu tindak pidana, sehingga ia
tidak dipidana, akan tetapi perbuatan tersebut masih merupakan Wederrechtelijk
atau perbuatan melawan hukum. Selain dari pada itu menurut Memorie van
Toelichting (M.v.T) dari KUHP dikenal pembagian antara alasan yang menyebabkan
seseorang tidak dapat dihukum yang disebabkab oleh hal-hal dari dalam (diri
orang itu sendiri) atau disebabkan oleh hal-hal dari luar diri sipelaku.
Dalam
bukunya yang berjudul “asas – asas hukum pidana” Prof moeljatno, S.H.
menjelaskan alasan – alasan yang menghapuskan pidana ini dibedakan menjadi :
1.
Alasan pembenar : yaitu
alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang
dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
2.
Alasan
pemaaf : yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan
perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.
3.
Alasan penghapusan penuntutan : disini soalnya bukan ada alasan pembenar maupun
alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun
sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemeritah menganggap bahwa atas
dasar utilitas atau kemanfaatannya
kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi
pertimbangan disini ialah kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak dituntut,
tentunya yang melakukan perbuatan tak dapat dijatuhi pidana. Contoh : pasal 53,
kalau terdakwa dengan suka rela mengurungkan niatnya percobaan untuk melakukan
suatu kejahatan.
Dari kesemua pembagian alasan
tersebut sekarang dirangkum dalam satu yaitu sebab-sebab seseorang tidak dapat
dihukum (Strafuitsluitingsgronden) yang terdiri dari :
Ø
Ontoerekeningsvatbaarheid
(Pasal 44) KUHP yang berbunyi “Tidak dapat dipidana barang siapa melakukan perbuatan oleh
karena jiwa dari sipembuat itu tidak tumbuh dengan sempurna atau diganggu oleh
penyakit sehingga sipembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan”
Dari perumusan ini dapat ditentukan syarat-syarat yang
termasuk dalam ketentuan pasal 44 yaitu,
a.
Mempunyai
jiwa yang tidak tumbuh dengan sempurna atau jiwa sipembuat diganggu oleh
penyakit, Yang dimaksud disini adalah berhubung dengan keadaan daya berpikir
tersebut dari si pelaku, ia tidak dapat dicela sedemikian rupa sehingga
pantaslah ia tidak dikenai hukuman. Dalam hal ini diperlukan orang-orang ahli
seperti dokter spesialis dan seorang psikiater.
b.
Tingakat
dari penyakit itu harus sedemikian rupa sehingga perbuatannya tidak dapat
dipertanggung jawabkan kepadanya.
Namun demikian apabila kita mencoba mencari ketentuan yang
menyatakan bagaimana/kapan seseorang itu dianggap tidak mempunyai jiwa yang
sehat hal tersebut tidak akan ditemukan, jadi untuk menentukannya kita harus
kembali melihat Memorie van Toelichting (M.v.T) atau penjelasan dari pada KUHP
itu. Dalam M.t.V ditentukan bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan
terhadap perbuatannya bila :
a. Keadaan jiwa orang itu sedemikian
rupa sehingga ia tidak dapat mengerti akan harga dan nilai dari perbuatannya
b. Ia tidak dapat menentukan
kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
c. Ia tidak dapat menginsyafi bahwa
perbuatannya adalah terlarang.
Maka jelaslah bahwa terhadap orang
yang termasuk dalam kategori pasal 44 menurut ketentuan hukum pidana tidak
dapat dihukum, namun perbuatan orang tersebut tetaplah merupakan perbutan yang
bertentangan dengan hukum (Wederrechtelijk) akan tetapi terhadap pelaku
diberikan alasan pemaaf oleh Undang-undang, atau schuld (Kesalahan) pembuat/
pelaku hapus.
Ø
Overmacht
(Pasal 48) KUHP, berbunyi barang siapa melakukan perbuatan karena
pengaruh daya paksa tidak dipidana. Kata “daya paksa” ini adalah salinan dari
kata belanda “overmacht”, yang artinya kekuatan atau daya yang lebih besar.
Yang menjadi persoalan adalah, apakah dayapaksa yaitu yang memaksa itu
merupakan paksaan pisik, terhadap mana orang yang terkena tak dapat
menghindarkan diri, atau merupakan paksaan psychis, dalam batin, terhadap mana
meskipun secara pisik orang masih dapat menghindarkannya, namun daya itu adalah
demikian besarnya. Sehingga dapat dimengerti kalau tidak kuat menahan daya
tersebut. Kekuatan pisik yang mutlak yang tak dapat dihindari dinamakan vis
absoluta, sedangkan kekuatan psychis dinamakan vis compulsive, karena
sekalipun tidak memaksa secara mutlak, tetapi memaksa juga.
Menurt M.v.T Paksaan itu adalah, setiap kekuatan setiap
paksaan atau tekanan yang sedemikian rupa sehingga tidak dapat dielakkan. Menurut
Jonker Overmacht itu sendiri terbagi 3 (tiga) yaitu,
1. Overmacht yang bersifat
Mulak/Absolut, yaitu dalam hal ini seseorang tidak mungkin berbuat lain.
Contoh : seorang yang ditusuk
perutnya disebuh tempat yang kemudian orang tersebut melawan balik dengan
tembakan sehingga pelaku penusukan mati.
2. Overmacht yang bersifat Relatif/
nisbi, yaitu dalam overmach ini pada dasarnya orang masih dapat memilih apakah
berbuat atau tidak, akan tetapi menurut perhitungan yang layak tidak mungkin
dapat dielakkan.
Contoh : seorang ibu yang mencuri roti disebuah warung untuk anaknya karena kelaparan.
Contoh : seorang ibu yang mencuri roti disebuah warung untuk anaknya karena kelaparan.
3. overmacht dalam arti noodtoestand
atau keadaan darurat Yang dimaksud dengan noodtoestand adalah, keadaan dimana
suatu kepentingan hukum dalam bahaya dan untuk menghindarkan bahaya itu,
terpaksa dilanggar kepentingan hukum yang lain.
Noodtoestan ini terjadi akrena :
a. Adanya pertentangan antara dua
kepentingan hukum
b. Adanya pertentangan antara kepentingan
dan kewajiban hukum.
c. Adanya pertentangan antara kewajiban
hukum dengan kewajiban hukum
Contoh : seseorang yang menyelamatkan diri disebuah papan
setelah kapalnya tenggelam, kemudian orang tersebut mendorong orang lain yang ingin naik ke papan
yang dinaikinya.
Apakah dayapaksa merupakan alasan
pembenar atau pemaaf?
Daya paksa merupakan alasan
pembenar, demikian Van Hamel menulis : sebab jika dalam hal yang demikian
ketentuan hukum masih tetap dipertahankan, maka di situ ternyata bahwa tata
hukum atau menghendaki supaya orang mempunyai keberanian yang luar biasa
(heldenmoend) seperti dalam halnya Karneades jika hal yang tak mungkin sama
sekali (dwaasheid) seperti kalau pada saat yang sama orang harus datang di dua
pengadilan. Karenanya, dalam dayapaksa disitu tata hukum menerima siapa saja yang terjadi (berust in het
gebeurde). Perbuatan pidana yang dilakukan orang karena pengaruh daya paksa
diterima sebagai benar. Pompe dan Jonkers antara lain juga yang berpendapat
sama.
Ø Noodweer (Pasal 49) KUHP yang
berbunyi Pasal
“barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan
ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain ,
terhadap kehormatan, kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain,
tidak dipidana. (Terjemahan Moeljatno).
Noodweer
dapat diartikan sebagai pembelan darurat, dan agar suatu perbuatan itu dapat
dikatakan pembelaan darurat harus memenuhi syarat-syarat :
1. Perbuatan yang dilakukan itu harus
terpaksa untuk mempertahankan (membela).
2. pembelaan atau pertahan itu harus dilakukan
hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal tersebut.
3. harus ada serangan yang melawan hak
dan mengancam seketika itu juga.
Ø Pembelaan
terpaksa (noodweer) pasal
49 ayat 1 berbunyi barang siapa terpaksa melakukan perbuatan pembelaan untuk pembelaan
karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum
terhadap diri sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan
(eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. Jadi
disini, saat dimana orang sudah boleh mengadakan pembelaan bukan kalau sudah
dimulai dengan adanya serangan, tapi baru ada ancaman akan adanya serangan saja
sudah boleh. Ini sebabkan atas pertimbangan bahwa dalam Negara yang begitu luas
dengan alat – alat Negara yang terbatas
pemerintah harus lebih member kebebasan kepada penduduk untuk menjaga
keselamatannya masing – masing.
Kepentingan macam apa saja yang
harus diserang sehingga dibolehkan pembelaan?
Ada
3 hal masing – masing baik kepunyaan diri sendiri mauoun kepunyaan orang lain
yaitu :
a. Diri atau badan orang.
b. Kehormatan, kesusilaan.
c. Harta – benda orang.
Ø Wettelijk Voorschrift (Pasal 50)
KUHP berbunyi
“Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang,
tidak boleh dihukum."
Wettelijk Voorschrift adalah menjalankan perintah Undang-undang. Apa yang diperintahkan oleh suatu undang-undang atau wewenang yang diberikan oleh sesuatu undang-undang untuk melakukan sesuatu hal tidak dapat dianggap tindak pidana.
Contoh : Algojo yang menjalankan tugas menembak mati terpidana yang divonis hukuman mati
Wettelijk Voorschrift adalah menjalankan perintah Undang-undang. Apa yang diperintahkan oleh suatu undang-undang atau wewenang yang diberikan oleh sesuatu undang-undang untuk melakukan sesuatu hal tidak dapat dianggap tindak pidana.
Contoh : Algojo yang menjalankan tugas menembak mati terpidana yang divonis hukuman mati
Ø Ambtelijke Bevel (pasal 51) KUHP yang berbunyi barang siapa
melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh
kuasa yang berhak untuk itu, tidak boleh dihukum”. Ambtelijke Bevel atau perintah jabatan.secara harafiah adalah
suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan.
Adapun syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal ini adalah :
Adapun syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal ini adalah :
1. Orang itu melakukan perbuatan atas
perintah jabatan.
2. perintah harus diberikan oleh kuasa
yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan kuasa itu.
Contoh
: Seorang polisi diperintahkan oleh atasannya untuk menangkap seorang penjahat.
Jadi apabila ternyata orang tersebut bukanlah penjahatnya, maka terhadap si polisi tidak dapat dihukum.
Jadi apabila ternyata orang tersebut bukanlah penjahatnya, maka terhadap si polisi tidak dapat dihukum.
Daftar
Bacaan
Moeljatno,
asas – asas hukum pidana, PT Rineka Cipta, 2000
R.
Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya,
Politeia, Bogor, 1996,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar