1.
Perbedaan antara
penafsiran hukum dengan konstruksi hukum.
h Dilihat dari definisinya penafsiran hukum merupakan
sebuah bentuk penemuan hukum, jadi sebenarnya hukum itu sudah ada hanya saja
perlu digali lagi, mencari sumber lain yang dipakai dasar untuk memutus sebuah
kasus, sumber lainnya adalah dari masyarakat berupa nilai – nilai kehidupan
ataupun norma dan kebiasaan hal inilah yang disebut dengan penafsiran. Siapa
yang menggali ialah hakim yang memiliki kewenangan dan hak untuk memutuskan dan
menyelesaikan sebuah perkara. Alasan kenapa proses penafsiran hukum tersebut
dilakukan karena didalam undang – undang/peraturan perundang - undangan
tersebut terkandung makna yang ambigu, multi tafsir, samar – samar kurang
jelas, tidak ada dalam yuris prudensi maupun doktrin (pendapat para ahli),
Adanya kewajiban bagi hakim untuk memutus suatu perkara yang diajukan, dan
Hakim tidak boleh menolah suatu perkara (UU/48/2009 pasal 10) karena hakim
dianggap tahu walaupun sebenarnya tidak tahu. Sedangkan konstruksi hukum adalah
sebuah proses atau langkah penemuan atau penciptaan hukum, hukum itu tidah
ada/ada kekosongan hukum yang disebut dengan wet vacuum.. Lembaga yang memiliki kewenangan dalam hal ini adalah
Hakim, Pembentuk hukum seperti DPR dengan Presiden dan Peneliti.
h Perbedaan yang kedua adalah Konstruksi hukum itu
diambil apabila di dalam proses penafsiran hukum tidak diperoleh jalan
keluar/hasil yang dapat menyelesaikan sebuah kasus. Dalam pengambilan
keputusannnya penafsiran hukum lebih menekankan bahwa hakim harus memutuskan
sebuah kasus berdasarkan nilai – nilai/ norma/ kebiasaan yang ada didalam
masyarakat. Sedangkan di konstruksi hukum hakim diperkenankan memutuskan sebuah
kasus berdasarkan hati nurani individunya sendiri.
2.
Penafsiran hukum
bisa berubah menjadi konstruksi hukum, hal ini dikarenakan :
h Seperti yang saya jelaskan pada jawaban sebelumnya
apabila didalam proses penafsiran hukum tidak ditemukan atau diperoleh jalan
keluar atau hasil untuk mengambil keputusan akhir atau menyelesaikan sebuah
perkara maka tindakan yang diambil adalah melakukan konstruksi hukum. Jadi
penafsiran hukum terlebih dahulu dilakukan dan apabila setelah digali dengan
melihat hukum adat, kebiasaan, hukum agama atau yang lainnya juga tidak
menemukan aturan atau hukum yang mengatur perkara tersebut kemudian baru dilakukan
konstriksi hukum yang dikeluarkan oleh hakim sesuai nuraninya sendiri asal
tidak melanggar HAM, UU, dan UUD 1945.
h Penafsiran hukum dapat berubah menjadi rekonstruksi
hukum dilakukan oleh hakim dengan metode argumentum peranalogian (suatu
peristiwa yang belum diatur hukumnya dengan mencari persamaan peritiwa yang
sejenis namun telah memiliki ketentuan pereturan atau hukum). Metode
argumentuma contrario, yaitu menetapkan ketentuan bagi suatu peristiwa tentunya
yang tidak diatur oleh hukum, dengan mendasarkan perbedaan peristiwa tersebut
dengan peristiwa lainnya.
h Apabila peraturan perundang – undangan tidak jelas
atau tidak lengkap. Hakim berhak melakukan penafsiran hukum melalui penemuan
hukum yang digali dari hukum adat, kebiasaan, hukum agama, dsb. Oleh karena itu
harus diketemukan hukum dengan jelas, penafsiran atau melengkapi perundang –
undangan. Kapasitas hakim tidak hanya bercermin pada civil law system yang berdasarkan pada peraturan perundang –
undangan. Akan tetapi karena ketentuan UU tidak memuat, jadi hukum dengan
mengakomodis common law system
melalui kreativitas hakim dalam merekonstruksi hukum. Jadi berdasarkan
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman manjelaskan bahwa pengadilan tidak boleh
menolak sebuah perkara yang diajukan untuk memeriksa dan mengadili dengan dalih
bahwa hukum tidak/kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa atau
mengadilinya. Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila
terjadi suatu peraturan perundang – undangan belum jelas atau belum
mengaturnya, hakim harus bertindak berdasarkan inisyatifnya sendiri untuk
menyelesaikan perkara. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa
yang merupakan hukum. Sekalipun peraturan perundang – undangan tidak dapt
membantunya, tindakan hakim inilah yang dinamakan dengan penemuan hukum. Undang
– undang tentang kekuasaan kehakiman (UU 48/2009) pada pasal 14 ayat 1
menjelaskan bahwa hakim sebagai organisasi pengadilan dianggap memahami hukum.
Apabila terjadi konflik antar peraturan sehingga tumpang tindih, conflict of norm hakim juga wajib
melakukan penafsiran gramatikal, teleologis/sosiologis, sistematis, hirtoris, futuristic,
komparatif, restriktif dan ekstensif dengan merekonstruksi hukum yang baru
melalui penambahan/pengurangan atau pergantian ketentuan hukum tersebut
menyesuaikan dengan tingkat keberterimaan masyarakat.
Sip
BalasHapusbagus
BalasHapus