.

hate me, im perfect

Kamis, 28 Februari 2013

Apa perbedaan antara penafsiran hukum dengan konstruksi hukum, berikan 2 perbedaannya | Mungkinkah penafsiran hukum berubah menjadi konstruksi hukum? Berikan minimal 3 buah pendapat anda.


1.      Perbedaan antara penafsiran hukum dengan konstruksi hukum.
h  Dilihat dari definisinya penafsiran hukum merupakan sebuah bentuk penemuan hukum, jadi sebenarnya hukum itu sudah ada hanya saja perlu digali lagi, mencari sumber lain yang dipakai dasar untuk memutus sebuah kasus, sumber lainnya adalah dari masyarakat berupa nilai – nilai kehidupan ataupun norma dan kebiasaan hal inilah yang disebut dengan penafsiran. Siapa yang menggali ialah hakim yang memiliki kewenangan dan hak untuk memutuskan dan menyelesaikan sebuah perkara. Alasan kenapa proses penafsiran hukum tersebut dilakukan karena didalam undang – undang/peraturan perundang - undangan tersebut terkandung makna yang ambigu, multi tafsir, samar – samar kurang jelas, tidak ada dalam yuris prudensi maupun doktrin (pendapat para ahli), Adanya kewajiban bagi hakim untuk memutus suatu perkara yang diajukan, dan Hakim tidak boleh menolah suatu perkara (UU/48/2009 pasal 10) karena hakim dianggap tahu walaupun sebenarnya tidak tahu. Sedangkan konstruksi hukum adalah sebuah proses atau langkah penemuan atau penciptaan hukum, hukum itu tidah ada/ada kekosongan hukum yang disebut dengan wet vacuum.. Lembaga yang memiliki kewenangan dalam hal ini adalah Hakim, Pembentuk hukum seperti DPR dengan Presiden dan Peneliti.
h  Perbedaan yang kedua adalah Konstruksi hukum itu diambil apabila di dalam proses penafsiran hukum tidak diperoleh jalan keluar/hasil yang dapat menyelesaikan sebuah kasus. Dalam pengambilan keputusannnya penafsiran hukum lebih menekankan bahwa hakim harus memutuskan sebuah kasus berdasarkan nilai – nilai/ norma/ kebiasaan yang ada didalam masyarakat. Sedangkan di konstruksi hukum hakim diperkenankan memutuskan sebuah kasus berdasarkan hati nurani individunya sendiri.

2.      Penafsiran hukum bisa berubah menjadi konstruksi hukum, hal ini dikarenakan :
h  Seperti yang saya jelaskan pada jawaban sebelumnya apabila didalam proses penafsiran hukum tidak ditemukan atau diperoleh jalan keluar atau hasil untuk mengambil keputusan akhir atau menyelesaikan sebuah perkara maka tindakan yang diambil adalah melakukan konstruksi hukum. Jadi penafsiran hukum terlebih dahulu dilakukan dan apabila setelah digali dengan melihat hukum adat, kebiasaan, hukum agama atau yang lainnya juga tidak menemukan aturan atau hukum yang mengatur perkara tersebut kemudian baru dilakukan konstriksi hukum yang dikeluarkan oleh hakim sesuai nuraninya sendiri asal tidak melanggar HAM, UU, dan UUD 1945.
h  Penafsiran hukum dapat berubah menjadi rekonstruksi hukum dilakukan oleh hakim dengan metode argumentum peranalogian (suatu peristiwa yang belum diatur hukumnya dengan mencari persamaan peritiwa yang sejenis namun telah memiliki ketentuan pereturan atau hukum). Metode argumentuma contrario, yaitu menetapkan ketentuan bagi suatu peristiwa tentunya yang tidak diatur oleh hukum, dengan mendasarkan perbedaan peristiwa tersebut dengan peristiwa lainnya.
h  Apabila peraturan perundang – undangan tidak jelas atau tidak lengkap. Hakim berhak melakukan penafsiran hukum melalui penemuan hukum yang digali dari hukum adat, kebiasaan, hukum agama, dsb. Oleh karena itu harus diketemukan hukum dengan jelas, penafsiran atau melengkapi perundang – undangan. Kapasitas hakim tidak hanya bercermin pada civil law system yang berdasarkan pada peraturan perundang – undangan. Akan tetapi karena ketentuan UU tidak memuat, jadi hukum dengan mengakomodis common law system melalui kreativitas hakim dalam merekonstruksi hukum. Jadi berdasarkan ketentuan pokok kekuasaan kehakiman manjelaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak sebuah perkara yang diajukan untuk memeriksa dan mengadili dengan dalih bahwa hukum tidak/kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa atau mengadilinya. Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang – undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasarkan inisyatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum. Sekalipun peraturan perundang – undangan tidak dapt membantunya, tindakan hakim inilah yang dinamakan dengan penemuan hukum. Undang – undang tentang kekuasaan kehakiman (UU 48/2009) pada pasal 14 ayat 1 menjelaskan bahwa hakim sebagai organisasi pengadilan dianggap memahami hukum. Apabila terjadi konflik antar peraturan sehingga tumpang tindih, conflict of norm hakim juga wajib melakukan penafsiran gramatikal, teleologis/sosiologis, sistematis, hirtoris, futuristic, komparatif, restriktif dan ekstensif dengan merekonstruksi hukum yang baru melalui penambahan/pengurangan atau pergantian ketentuan hukum tersebut menyesuaikan dengan tingkat keberterimaan masyarakat.

2 komentar: