.

hate me, im perfect

Jumat, 17 Januari 2014

Tri Hita Karana Sebagai Landasan Filosofi Awig-awig

Awig-awig adalah bentuk aturan yang mengandung nilai religiuitas tinggi yang berisi ketentuan-ketentuan dalam menjalankan konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan konsep luhur yang telah ada pada masyarakat Bali sejak dulu yang bersumber dari ajaran Agama Hindu. Konsep inilah yang menjadi ciri pembeda masyarakat Hindu Bali dengan masyarakat lainnya yang ada di luar Bali. Tri Hita Karana sebagai pokok pangkal titik tolak kehidupan masyarakat Bali, sehingga pengambilan ketimpangan masyarakat selalu didasarkan kepada ketiga unsur yang ada didalamnya. Yang paling penting bagi masyarakat Bali adalah adanya keharmonisan, keseimbangan, keserasian antar dunia lahir dan dunia batin, antar golongan manusia sebagai keseluruhan orang seorang, antara persekutuan dan teman-teman semasyarakat dan terhadap lingkungan alam sekitar (Surpha, 2002:136).

Secara tekstual, Tri Hita Karana memiliki arti Tri yang berarti Tiga, Hita yang berarti kesejahteraan, dan Karana yang berarti sebab. Jadi Tri Hita Karana adalah tiga penyebab kesejahteraan. Secara umum dapat dikatakan bahwa konsep Tri Hita Karana memberikan kesejahteraan kepada manusia dengan catatan manusia harus menjaga keharmonisan tiga unsur yang ada pada konsep tersebut. Ketiga unsur itu adalah Sanghyang Jagatkarana (Tuhan Sang Pencipta), yang kedua adalah unsur Bhuana yakni alam semesta, dan ketiga adalah Manusa (Manusia). Kesejahteraan akan tercapaia bila keharmonisan diantara ketiga unsur tersebut sudah terjadi. Maka dari itu manusia harus menjaga dan menciptakan keharmonisan antar sesama manusia, kepada alam dan lingkungan serta kepada Tuhan Yang Maha Esa/ Sang Hyang Widhi.

Dalam bukunya yang berjudul Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, (Sirtha, 2008) menjelaskan beberapa bentuk hubungan manusia dalam penerapan konsep Tri Hita Karana. Yang pertama adalah kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa tercermin pada kegiatan berbagai upacara keagamaan yang dikenal dengan sebutan Panca Yadnya, yaitu Dewa Yadnya (berbagai persembahan yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa), Manusia Yadnya (upacara keagaamaan yang titujukan kepada manusia, seperti upacara pernikahan, potong gigi, dan lain-lain), Resi Yadnya (upacara yang ditujakan kepada para Resi/Orang Suci), Pitra Yadnya (upacara keagamaan yang ditujukan kepada para leluhur), Bhuta Yadnya (upacara keagamaan yang ditujukan kepada alam dan beserta isinya seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan).

Kedua, kegiatan masyarakat desa dalam hubungan antar manusia dan sesamanya tercermin pada kehidupan pawongan. Didalam pawongan inilah terjadi banyak aktivitas seperti gotong royong, tolong menolong, bekerja, sampai organisasi yang terhimpun dalam berbagai bentuk sekaa, yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Dalam perkumpulan itu, warga desa dapat berkreasi untuk menyalurkan bakat-bakatnya demi kelangsungan hidupnya.

Ketiga, Kegiatan warga masyarakat desa dalam hubungannya dengan alam, baik dalam lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, terlihat pada kegiatan mengolah dan memelihara alam fisik sebagai sumber mata pencaharian dan sebagai tempat pemukiman menjadi hak dan kewajiban setiap warga desa. Lingkungan sosial menjadi tempat bagi warga desa untuk melakukan berbagai kreasi yang melahirkan karya seni budaya.

Nilai yang terdapat pada konsep Tri Hita Karana yaitu adalah nilai harmonis. Kita ketahui harmonis akan memberikan enerji positif bagi kehidupan manusia, sehingga dengan harmonis ini manusia dapat menciptakan dan membangun keseimbangan dalam hidup karena hakekat kehidupan sebenarnya adalah membangun keseimbangan (life is balance). Jika keseimbangan unsur tersebut telah mampu untuk dicapai dalam kehidupan maka kesejahteraan kedamaian hidup manusia akan bisa dicapai.

Bagaimana bila terjadi disharmonisasi? Bila terjadi disharmonisasi pada salah satu unsur tentu akan mempengaruhi keseimbangan unsur yang lainnya. Disharmonisasi akan memberikan enerji negatif bagi kehidupan manusia yang akan berdampak pada ketidak seimbangan unsur Tri Hita Karana. Karena dapat kita katakana Tri Hita Karana bagaikan sebuah sistem yang mengatur pola tatanan kehidupan masyarakat. Jadi layaknya sebuah sistem jika salah satu unsur terganggu maka unsur lainnya juga akan terganggu. Sebagai contoh adalah konflik antar warga, hal ini berarti keseimbangan unsur pawongan sudah tidak tercapai. Konflik atau disharmonisasi antar warga yang kini sering terjadi tentu berdampak pada keseimbangan unsur palemahan dan parhyangan. Terjadinya konflik tidak jarang akan berdampak pada hubungan kemasyarakatan, sampai pada aksi pembakaran, perusakan lingkungan, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu dampak dari adanya konflik tersebut juga mengakibatkan disharmonisasi unsur Parhyangan. Sering kita temui konflik adat antar warga desa satu dengan desa lainnya yang didasari oleh kasus perebutan Pura, tentu ini akan menodai kesucian pura tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar