.

hate me, im perfect

Jumat, 17 Januari 2014

Hukum Adat Dalam Masyarakat Bali

Desa pakraman yang ada di Bali memiliki aturan-aturan baik tertulis atau tidak tertulis untuk mengatur kehidupan warga masyarakatnya yang berlaku bagi desa pakraman yang bersangkutan. Pada dasarnya esensi dari aturan-aturan tersebut bertujuan untuk menjaga keharmonisan kehidupan masyarakat. Kehidupan desa pakraman di Bali berpijak pada konsep Tri Hita Karana yakni menjaga keharmonisan kehidupan manusia dengan sesama manusia yang disebut pawongan, yang kedua menyangkut keharmonisan kehidupan manusia dengan alam yang disebut palemahan, dan yang terakhir menyangkut keharmonisan kehidupan manusia dengan Tuhan/Sang Hyang Widhi yang disebut parhyangan. Jadi tiga hubungan itu harus bisa dijaga secara harmonis oleh manusia, maka itu dalam aturan hukum adat pada masyarakat Bali ketiga hal itulah yang ditekankan. Karena memang itu tiga aspek hubungan itulah kunci yang harus dijaga manusia agar bisa hidup damai, aman dan sejahtera (shanti).

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 disebutkan bahwa Hukum Adat adalah hukum adat Bali yang hidup dalam masyarakat Bali yang bersumber dari Catur Dresta serta dijiwai oleh Agama Hindu Bali. Catur Dresta yakni, Sastra Dresta yakni ajaran-ajaran agama, Kuna Dresta yakni nilai-nilai budaya, Loka Dresta yakni pandangan hidup dan Desa Dresta yakni adat istiadat setempat (Windia, 2010:50).

Masyarakat Bali memiliki keyakinan bahwa hukum adat tidak saja memiliki sanksi secara sekala (dunia nyata) tapi juga memiliki sanksi yang bersifat niskala (tidak nyata/dunia akhirat). Hal ini tidak terlepas dari ajaran Agama Hindu yang telah mengakar dan tumbuh berbarengan dengan adat kebudayaan orang Bali. Jadi bila membicarakan adat di Bali juga akan membicarakan Agama Hindu begitu pula sebaliknya. Agama Hindu di Bali ada ditiap masyarakat dengan balutan adat kebudayaannya. Hukum adat merupakan aspek dari kebudayaan. Hasil dari kebudayaan masyarakat Bali salah satu diimplementasikan menjadi hukum adat berupa awig-awig atau pararem. Dapat digambarkan sebagai berikut ini, Agama adalah kepalanya sedangkan kebudayaan adalah badannya karena itulah tindakan adat istiadat masyarakat Bali didasari oleh ketentuan Agama Hindu. Karena hal ini pula masyarakat Bali dikatakan sebagai masyarakat sosial religius hinduistis.

Hukum adat yang dibuat oleh para penglingsir (sesepuh) desa pakraman saat ini tentunya tidak mampu lagi untuk menyentuh kehidupan masyarakat, karena perkembangan masyarakat saat ini sudah berubah jadi orientasi lama tidak mampu lagi untuk digunakan sebagai pedoman aturan kehidupan saat ini. Disisi lain dalam situasi perubahan masyarakat sangat cepat banyak awig-awig dan pararem belum dilakukan penyuratan oleh desa pakraman bersangkutan. Surpha (2002) Menjelaskan, masyarakat Bali sangat mempercayai dan menaati serta menjalankan dengan baik dan sebagaimana mestinya warisan adat-istiadat yang telah ada secara turun menurun. Namun hal tersebut tidak berarti apa yang telah diwariskan tidak boleh dirubah atau dilakukan penyempurnaan adat kebiasaan yang diterimanya itu, sepanjang perubahan dan penyempurnaan tersebut demi sebuah kebaikan keseimbangan kehidupan masyarakat dan itu dibenarkan oleh ajaran Agama Hindu.

Awig-awig merupakan implementasi hukum adat dan hukum adat berdasar pada nilai-nilai masyarakat sehingga sering disebut sebagai hukum yang hidup. Seperti yang kita ketahui bersama hukum adat memiliki sifat yang fleksibel atau dinamis, dimana hukum adat selalu akan berkembang dan disesuaikan dengan bagaimana perkembangan yang terjadi ditengah masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan adanya globalisasi dan modernisasi pola perilaku dan kebiasaan masyarakatpun ikut berubah. Disinilah hukum adat dapat membuktikan diri bahwa dirinya memiliki sifat yang fleksibel dan dinamis.

Untuk mengubah ataupun menyempurnakan adat kebiasaan, Agama Hindu menganjurkan agar berpedoman pada ketentuan-ketentuan Desa Kala Patra. Secara tekstual Desa Kala Patra memiliki arti, Desa berarti tempat dimana ia berada, Kala berarti dalam keadaan bagaimana ia pada waktu itu, dan Patra berarti sastra-sastra agama dan ketentuan yang dinyatakan berlaku oleh pemerintah atau (raja) (Surpha, 2002:40). Dari itu desa pakraman perlu melakukan reinterprestasi dalam melaksanakan warisan awig-awig dan pararem dan memerlukan cara pandang baru dalam “menerjemahkan” asas desa mawacara menjadi awig-awig dan pararem, sehingga lebih sesuai dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi disekitar desa pakraman (Windia, 2010:6).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar