.

hate me, im perfect

Jumat, 17 Januari 2014

Dinamika Desa Pakraman

Desa pakraman pada hakikatnya ibarat sebuah asrama yang berdasarkan ajaran Agama Hindu dalam menata umatnya dalam suatu wilayah desa. Awig-awig adalah norma utama untuk menata dinamika kehidupan di desa pakraman. Sumber awig-awig adalah Catur Dresta dan dijiwai oleh Agama Hindu. Berbicara soal kehidupan adalah berbicara soal bhuwana agung (alam semesta) dan bhuwana alit (lingkungan hidup manusia) dengan segala permasalahannya baik yang bersifat sekala maupun niskala. Desa pakraman sebagai wadah Umat Hindu untuk mengamalkan ajaran Agama Hindu. Desa pakraman seyogianya dibina sebagai wadah untuk mengembangkan kehidupan sekala dan niskala secara simultan berdasarkan ajaran Agama Hindu.

Seperti pada penjelasan penulis sebelumnya, Kehidupan desa pakraman saat ini di dihadapkan pada berbagai permasalahan yang muncul baik dari dalam maupun dari luar. Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, kini sedang mengalami proses transformasi sosial budaya, baik karena faktor internal dari kehidupan masyarakat Bali maupun karena faktor eksternal dari luar masyarakat Bali itu sendiri. Dalam proses transformasi sosial budaya Bali tersebut, di samping ada pengaruh-pengaruh positif yang diterima masyarakat Bali, tidak dapat dimungkiri pula adanya pengaruh-pengaruh negatif yang timbul. Hal ini yang ditengarai telah menyebabkan masyarakat Bali mulai bergeser dari ciri-ciri masyarakat tradisional, mengutamakan nilai-nilai sosial komunal, mengembangkan lokal genius, dan sebagai masyarakat yang religius berubah ke ciri-ciri masyarakat kota yang modern, eksploitatif, bernafsu tinggi, individualistik, konsumeristik, dan sekuler.

Soekarno pernah berkata “Perjuanganku saat ini lebih mudah karena aku melawan penjajah dari luar tapi perjuangan kalian akan lebih berat karena yang harus kalian hadapi adalah saudara kalian sendiri”. Kalimat yang diucapkan oleh Presiden Republik Indonesia yang pertama ini memang bukan hisapan jempol semata. Apa yang menjadi esensi dari kalimat tersebut mengenai kekuatan kita untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ditengah perlawanan yang datang dari dalam. Dimana hal ini tentu akan berdampak pada keberlangsungan kesatuan dan persatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia terlebih kita di Bali yang ancaman mengenai disharmonisasi sosial kian meningkat tajam karena inilah dinamika kehidupan yang sedang kita hadapi saat ini. Konflik antar sesama bisa kita temui setiap saat baik melalui media elektronik maupun cetak dan selalu menjadi head line (berita utama) pagi disetiap surat kabar. Ini adalah ancaman dan perjuangan yang sangat berat bagi kita semua generasi penerus bangsa ini.

Perubahan-perubahan sosial budaya yang cenderung negatif tersebut telah menimbulkan berbagai bentuk keprihatinan dan atau kekawatiran. Salah satu yang paling populer diwacanakan di banyak media masa baik itu cetak maupun elektronik dewasa ini adalah munculnya kehendak berbagai pihak, dari kalangan elit politik dan pejabat pemerintahan di daerah, budayawan, seniman, tokoh-tokoh atau penglisir (sesepuh) masyarakat, kalangan ahli, pengamat sosial budaya dan lingkungan, kalangan pariwisata, kalangan pendidik, hingga masyarakat umum di tingkat bawah, untuk mengembalikan Bali untuk Bali. Wacana yang populer itu, menginginkan kehidupan masyarakat Bali kembali berlandaskan aplikasi konsep-konsep dan nilai-nilai serta praktik kehidupan beragama Hindu di Bali menurut ajaran Tri Hita Karana.

Kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” diambil dari karya Mpu Tantular dalam Kekawin Sutasoma lebih lengkapnya berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa” bermakna walaupun berbeda-beda bangsa Indonesia tetap satu tidak bisa dipisahkan. Dasar yang kuat ini merupakan modal besar bangsa Indonesia pada jaman dulu untuk melakukan revolusi merebut kemerdekaan dari bangsa penjajah. Jadi dalam hal pengertian persatuan Indonesia, sudah melekat suatu pengakuan terhadap kebhinnekaan, tetapi bukan untuk dipertentangkan sehingga menghasilkan pertikaian, perpecahan dan permusuhan, melainkan untuk disatupadukan (Rindjin, 2009:121). Perbedaan-perbedaan suku-bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang diperkenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda (Nasikun, 2005:35).

Konflik Adat

Yang dimaksud dengan konflik ataupun kasus adat adalah kasus-kasus yang bertentangan dengan Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan dan Palemahan) (Surpha, 2002:154). Di Bali konflik adat merupakan ancaman besar bagi eksistensi masyarakat Bali yang kini mendapatkan perhatian besar dari banyak kalangan. Konflik yang terjadi dalam masyarakat Bali beberapa tahun ini intensitasnya sangat tinggi. Beberapa kasus setelah diidentifikasi dapat digolongkan ke dalam ranah konflik adat tapi ada pula konflik yang diklaim menjadi konflik adat atau tindakan kriminal yang diadatkan, seperti permasalahan pribadi yang kemudian mengajak kelompok besar seperti banjar adat sampai desa pakraman untuk ikut serta dalam putaran konflik tersebut. Latar belakang terjadinya konflik adat antara lain disebabkan oleh adanya perubahan sosial yang tampak pada perubahan perilaku warga masyarakat, dan terjadinya pergeseran nilai budaya (Sirtha, 2008:75).

Dalam kehidupan masyarakat adat di Bali awig-awig dan pararem sebagai sebuah aturan perilaku masyarakat adat di desa memiliki nilai dan filosofi dari konsep Tri Hita Karana dimana nilai-nilainya bersumber dari ajaran Agama Hindu, maka dalam kehidupan keseharian masyarakat Bali tercermin nilai-nilai religius, sosial, kekeluargaan dan harmonis antar sesama warga masyarakat. Keharmonisan merupakan kata kunci yang harus dijaga dalam kehidupan masyarakat. Segala tindakan atau perbuatan yang menganggu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum adat dan petugas hukum (prajuru adat) wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali keseimbangan hukum tersebut (Surpha, 2002:136).

Kesejahteraan hanya dapat dicapai bila terjadi keharmonisan dan keseimbangan kehidupan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi nilai kebersamaan dan kekeluargaan adalah yang utama dalam konsep Tri Hita Karana, walaupun nantinya terjadi konflik diusahakan penyelesaiannya dapat berjalan dengan damai agar keharmonisan dan keseimbangan kehidupan dapat kembali terjadi. Bila terjadi ketidak taatan warga masyarakat kepada awig-awig ataupun pararem dapat menimbulkan konflik adat berdasarkan prinsip kekeluargaan dimaksudkan agar terjadi kerukunan kembali dalam kehidupan masyarakat (Sirtha, 2008:74).

Ditengah perkembangan kemajuan teknologi dan pengetahuan, dinamika kehidupan sosial masyarakat kini pun kian berubah. Kesadaran akan peningkatan kesejahteraan yang semakin tinggi akibat dari perubahan yang cepat mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin maju, mengakibatkan adanya pergeseran nilai-nilai budaya masyarakat. Dengan kemajuan yang sedemikian rupa saat ini fenomena yang muncul adalah masyarakat sudah mulai berubah menjadi masyarakat yang konsumtif, eksploitatif, bernafsu tinggi, individualistik, konsumeristik, dan sekuler. Pergeseran yang terjadi antara lain, terjadi pergeseran nilai sakral menjadi profan, dan nilai agama bergeser menjadi nilai ekonomi. Dengan terjadinya perubahan nilai dalam perubahan orientasi dari kesederhanaan dan hemat menjadi rakus antara lain merupakan penyebab munculnya berbagai konflik di desa pakraman termasuk konflik batas wilayah yang melibatkan desa pakraman (Windia, 2010:28).

Dalam Hukum Adat Bali konflik tidak saja dipandang sebagai suatu pelanggaran atas hukum nasional yang harus diselesaikan dengan urusan pidana ataupun perdata, namun jauh dari itu Hukum Adat Bali memandang suatu konflik tidak saja harus diselesaikan secara sekala (nyata) tapi juga harus diselesaikan secara niskala (tidak nyata/akhirat). Hal ini karena dalam konsep kehidupan masyarakat Bali sebuah konflik yang terjadi pastinya menyebabkan disharmonisasi kepada tiga unsur yang terdapat pada konsep luhur masyarakat Bali yakni Tri Hita Karana.

Penyelesaian Konflik Adat

Saat ini wacana mewujudkan Ajeg Bali sangat sering kita dengarkan, namun apakah hal tersebut akan menjadi sebatas wacana saja ketika kita melihat dampak dari modernisasi dan globalisasi yang semakin kuat merubah pola pikir masyarakat sehingga terjadi pergeseran nilai-nilai budaya masyarakat. Seringnya terjadi konflik adat antar warga di Bali merupakan ancaman besar bagi keajeggan Bali. Hal ini diperparah dalam beberpa kasus konflik adat sampai saat ini masih belum terselesaiakn dan ada pula yang masih menggantung dalam penyelesaiannya. Bila ini tidak diambil tindakan untuk diselesaikan maka ancaman bom waktu perpecahan keharmonisan masyarakat Bali tinggal menunggu waktu untuk meledak.

Ketika terjadi konflik harus segera dilakukan penyelesaian agar kehidupan masyarakat dapat kembali harmonis dan damai. Konflik adat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat adat, yang terjadi sesuai dengan dinamika masyarakat dan memerlukan penyelesaian dengan cara-cara yang bijaksana. Dalam penyelesaian konflik ataupun masalah adat lainnya, awig-awig maupun pararem lebih mementingkan sanksi yang diberikan untuk mengembalikan kembali keseimbangan masyarakat yang telah terganggu oleh keadaan yang bertentangan dengan pola tingkah laku yang dihormati dan diterima dalam suatu kesatuan tata awig-awig ataupun pararem. Dalam penyelesaian masalah berdasarkan hukum adat dipergunakan asas rukun, patut, dan laras. Prinsip-prinsip hukum adat itu diwujudkan di dalam paruman atau sangkepan guna memecahkan masalah yang terjadi berdasarkan musyawarah mufakat (Sirtha, 2008:154).

Disini bentuk sanksi hukum dari awig-awig dan pararem pada umumnya berupa suatu upacara tertentu seperti mecaru, membayar denda sejumlah tertentu sebagai bentuk hukuman atas perbuatan yang telah dianggap menggoyahkan harmonisnya kehidupan di masyarakat (Artadi, 2003:83). Dimensi kekeluargaan yang sangat kuat terkandung di dalam awig-awig dan pararem ditambah dengan adanya kepercayaan magis akan sanksi yang akan timbul jika berani melanggar awig-awig atau pararem membuat sampai saat ini masih sangat ditaati dan dijalankan dengan baik sesuai dengan isinya.

Konflik adat dapat digolongkan kedalam konflik hukum yang memerlukan penyelesaian berdasarkan pada aturan hukum adat. Dalam penyelesaian konflik adat, harus terlebih dahulu dipahami aturan hukum adat mana yang dilanggar dan yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, dalam menangani konflik adat harus dipahami substansi hukum yang dilanggar dan bagaimana proses penyelesaiannya (Sirtha, 2008:77).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar