.

hate me, im perfect

Jumat, 02 Desember 2011

PERS MATA RANTAI KELEMBAGAAN INDONESIA BEBAS TAPI TERBATAS

Oleh :
Gusti Ngurah Agus Andi Mulya
I Made Mardika
I Putu Windu Mertha Sujana
(Mahasiswa PPKn Fakultas Ilmu Sosial Undiksha)
Esay Lomba Debat Jurusan PPKn Universitas Pendidikan Ganesha

A.    Pendahuluan/Identifikasi Masalah
Pers merupakan pilar keempat dalam demokrasi setelah Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif yang memiliki tugas dan peranan sebagai wahana penyalur aspirasi masyarakat (http:// politik.kompasian.com/2010/05/03/peran-pers-dalam-negara-demokrasi/. diakses pada tanggal 01 Desember 2011). Tentu tidak itu saja tugas dan peranan dari pers itu sendiri, pers juga memiliki arti yang sangat penting dalam roda pemerintahan demi terciptanya “check and balances  Berbicara mengenai fakta aktual yang terjadi saat ini, Pers pada  media cetak maupun media elektronik seakan – akan dikontrol terbalik oleh oknum tertentu guna menjalankan kepentingan kelompok tertentu. Tugas lain dari pers itu sendiri adalah menjadi motor penggerak informasi dari atas ke bawah dan sebaliknya sebagai penyalur aspirasi dari bawah ke atas. Kita bisa lihat kenyataannya pada beberapa elit politik di Negara kita yang tercinta yang mana memiliki kewenangan dan pengaruh  besar terhadap beberapa Media Masa. Inilah yang digunakan oleh beberapa kalangan sebagai alat dalam menjalankan kepentingan kelompoknya. Disinilah pers saat ini menurut pandangan kami sudah tidak terbuka lagi dalam pemberian atau penayangan berita ataupun informasi kepada publik, karena media – media tersebut telah di gerakkan oleh kekuatan poltik yang ada dibelakangnya dan terkadang ditunggangi oleh pelaksanaan “politik yang kotor”. Tentunya kita tahu bagaimana sebuah siaran televisi menayangkan berita yang terkesan sangat mendukung sebuah kebijakan pemerintah sedangkan di siaran televisi lainnya sangat mengkritisi habis – habisan terkait kebijakan apa yang telah diambil oleh pemerintah. Tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti media pers saat ini akan berubah menjadi media yang mendukung pemerintah dan media yang menjadi oposisi dari pemerintah. Ini tentunya apa yang menjadi dari esensi tugas dan kewajiban pers dalam mendidik masyarakat terkait perpolitikan menjadi tidak sehat karena masyarakat telah disuguhi tontonan yang sangat subjektif terhadap pemerintahan bukan bersifat objektif atau independen. Pendidikan politik yang tidak sehat ini menjadi konsumsi yang tidak baik tentunya bagi masyarakat kita, terlebih masyarakat Indonesia masih dalam proses pendewasaan berpolitik ini tentunya menjadi “lingkaran setan” yang seaktu – waktu dapat meledak karena apa yang ditayangkan oleh media pers tersebut. Kita tidak bisa memukul ratakan semuanya bahwa masih ada secercah harapan bahwa tidak semua media pers digerakkan oleh kelompok – kelompok tertentu tapi ada juga yang masih berjalan dijalur independen.
B.     Argumentasi
Menjadikan pers sebagai pemberi sumbangan informasi menjadi sulit tercipta karena tidak dapat dipungkiri sebuah media menginginkan sesuatu yang memiliki daya ikat atau daya sensasi tinggi terhadap penikmat yakni khalayak luas. Oleh karena hal tersebut masyarakat harus mampu memilih dan memilah sesuai dengan keadaan yang memang terjadi di lapangan. Pers tidak mesti harus memberikan informasi yang bersifat sensasi semata karena dengan adanya kemajuan Peraturan yang mengharuskan kegiatan pers bersifat keterbukaan dan memberikan manfaat di kalangan penikmat berita yang ada. Salah satunya adalah menerapkan  UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ini mutlak diperlukan sebab dengan adanya keterbukaan publik maka argumentasi yang maksimal terkait dengan pemberian mosi ataupun pendapat akan semakin besar terhadap kemajuan dari bangsa dan Negara.  Keterbukaan, kejujuran dan Realita memang sangat sulit kita temukan saat ini, hal ini diperjelas oleh seorang mantan wartawan Istana Wisnu Nugroho dalam bukunya yang berjudul “Pak Beye dan Istananya”, didalam bukunya dia secara implisit mengatakan bahwa kita hidup dalam realita yang palsu. Maksud dari pernyataannya tersebut dijelaskan dengan cerita yang dia tulis bagaimana pak presiden sebelum mengadakan pidato atau sekedar interview dengan wartawan sebelumnya telah dilakukan pengaturan tentang siapa saja wartawan yang boleh bertanya dan apa pertanyaannya akan dicatat sebelum pidato tersebut dilakukan. Pengalihan isu kerap terjadi ini membuat masyarakat kian lama tidak menaruh simpati lagi terhadap pers. Disinilah kredeblitas dari lembaga penyiaran pers dipertaruhkan antara menyiarkan fakta actual yang sebenarnya terjadi dengan memberitakan realita yang sebenarnya itu adalah sebuah pengalihan isu. Tidak dapat dipungkiri semua ini berpangkal pada suasana perpolitikan Indonesia yang panas dan penuh aroma kepentingan. Intervensi selalu saja datang dan menimpa siapapun dinegeri ini. Ingin rasanya melihat seorang politikus muda yang berjalan bebas dan bersua selayaknya sang legenda munir menapak dada demi sebuah kejujuran, kemurnian dan terbuka akan semuanya.  
C.    Solusi Permasalahan
Kebutuhan masyarakat terhadap informasi publik perlu didukung. Tidak hanya dalam sarana dan prasarana seperti teknologi dan sumberdaya manusia. Dukungan terpenting adalah dengan keseriusan dari aparatur pemerintah dan swasta dalam melayani masyarakat untuk memberikan informasi yang terbuka dan benar. Penyelenggaraan negara sebagai penanggungjawab dan pembuat kebijakan publik harus memberikan pelayanan  bagi semua pihak untuk terbuka memberi informasi.
Tentu kita tidak ingin masyarakat buta terhadap program yang sudah dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Disamping karena prosedur birokrasi yang kurang dipahami, juga karena keterbatasan informasi yang dimiliki oleh masyarakat. Keterbukaan informasi publik dapat mengontrol kinerja aparatur pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Dan dalam hal ini akan mengurangi  korupsi dan pungli di jajaran pemerintahan. Keterbukaan informasi publik sebagai wujud Clean Government.
Mendapatkan informasi adalah hak individu warga negara. Pelanggaran atau pembatasan terhadap akses informasi adalah sebuah pelanggaran HAM, sesuai dengan UU 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pada renzim otoriter orde baru akses terhadap informasi yang disampaikan hanya untuk kepentingan penguasa. Karena dikhawatirkan kebebasan informasi akan mengganggu dan memungkinkan penjatuhan renzim yang berkuasa. Untuk itu demokratisasi informasi perlu dibangun, agar transparansi publik dapat terbangun di Republik ini.
Kehadiran UU No. 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik membuka sekat birokrasi informasi yang menjadi hak publik. UU ini menentukan bahwa negara berkewajiban untuk membentuk komisi informasi di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Sekalipun UU No. 14 Tahun 2008 ini memiliki keterbatasan, tetapi proses control atas pembatasan akses informasi kepada masyarakat dapat berjalan melalui lembaga komisi informasi yang ada di masing-masing daerah. Sekalipun komisi Informasi tidak memiliki kewenangan penindakan secara langsung, karena tetap melalui jalur peradilan umum apabil ada temuan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait dengan informasi publik.
Informasi yang dijamin dengan UU ini tidak hanya milik lembaga publik dalam arti institusi pemerintah semata. Melainkan juga partai politik termasuk di dalamnya. Juga pihak swasta seperti perseroan terbatas, juga yayasan. Karena itu, semua lembaga publik kedepannya harus siap untuk membuka informasi bagi masyarakat yang meminta. Karena lembaga publik adalah lembaga milik masyarakat.  

1 komentar: